PPh, PBB, PPN, Beamaterai, dan pajak daerah : Hukum Pajak

PAJAK PENGHASILAN
  1. Pengertian
Pajak penghasilan adalah pajak yang dibebankan pada penghasilan perorangan, perusahaan atau badan hukum lainnya.

B.     Subyek pajak penghasilan

Menurut Undang Undang no.36 tahun 2008 tentang pajak penghasilan, subyek pajak penghasilan adalah sebagai berikut:
  1. Subyek pajak pribadi yaitu orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
  2. Subyek pajak harta warisan belum dibagi yaitu warisan dari seseorang yang sudah meninggal dan belum dibagi tetapi menghasilkan pendapatan, maka pendapatan itu dikenakan pajak.
  3. Subyek pajak badan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:

C.    Bukan subyek pajak penghasilan

Undang Undang No. 17 tahun 2000 menjelaskan tentang apa yang tidak termasuk obyek pajak sebagai berikut :
  1. Badan perwakilan negara asing.
  2. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat - pejabat lain dari negara asing dan orang - orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka dengan syarat bukan warga negara indonesia dan negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik.
  3. Organisasi internasional yang ditetapkan oleh keputusan menteri keuangan dengan syarat Indonesia ikut dalam organisasi tersebut dan organisasi tersebut tidak melakukan kegiatan usaha di Indonesia. Contoh: WTO, FAO, UNICEF.
  4. Pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh keputusan menteri keuangan dengan syarat bukan warga negara indonesia dan tidak memperoleh penghasilan dari Indonesia.

D.    Obyek Pajak Penghasilan

Yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap Tambahan Kemampuan Ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Undang-undang Pajak Penghasilan Indonesia menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak dari manapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak tersebut.
Pengertian penghasilan dalam Undang-undang PPh tidak memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan Wajib Pajak tersebut untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangunan.
Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan dapat pula ditabung untuk menambah kekayaan Wajib Pajak.
Karena Undang-undang PPh menganut pengertian penghasilan yang luas maka semua jenis penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak digabungkan untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak. Dengan demikian, apabila dalam satu Tahun Pajak suatu usaha atau kegiatan menderita kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan lainnya (Kompensasi Horisontal), kecuali kerugian yang diderita di luar negeri. Namun demikian, apabila suatu jenis penghasilan dikenakan pajak dengan tarif yang bersifat final atau dikecualikan dari Objek Pajak, maka penghasilan tersebut tidak boleh digabungkan dengan penghasilan lain yang dikenakan tarif umum.

E.     Undang-undang yang mengatur Pajak Penghasilan

Pajak Penghasilan (disingkat PPh) di Indonesia diatur pertama kali dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 dengan penjelasan pada Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50. Selanjutnya berturut-turut peraturan ini diamandemen oleh :
  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991,
  2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, dan
  3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000.
  4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
  1. Tarif Pajak penghasilan atau PPh dibagi atas:
    1. Untuk WP orang pribadi
    Rp. 0 s.d. Rp 25 juta, tarifnya 5%
    Rp. 25 juta s.d. Rp 50 juta, tarifnya 10%
    Rp. 50 juta s.d. Rp 100 juta, tarifnya 15%
    Rp. 100 juta s.d. Rp 200 juta, tarifnya 25%
    Rp. 200 juta ke atas, tarifnya 35%
    2. Untuk WP berbentuk badan usaha
    Rp. 0 s.d. Rp 50 juta, tarifnya 10%
    Rp. 50 juta s.d. Rp 100 juta, tarifnya 15%
    Rp. 100 juta ke atas, tarifnya 30%
    Tarif Pajak penghasilan atau PPh dibagi atas adalah tarif progresif. Artinya setiap lapisan Penghasilan Kena Pajak dikenakan sesuai tarifnya, tidak diakumulasi terlebih dahulu, baru dikenakan tarif. Sebelum dikenakan tarif, Penghasilan Kena Pajak dibulatkan dulu sampai ribuan ke bawah.
    contoh :
    1. Penghasilan Kena Pajak WP orang pribadi = Rp 300.000.950
    Penghasilan Kena Pajak dibulatkan : Rp 300.000.000
    PPh nya adalah :
    5% x Rp 25.000.000 = Rp 1.250.000
    10% x Rp 25.000.000 = Rp 2.500.000
    15% x Rp 50.000.000 = Rp 7.500.000
    25% x Rp 100.000.000 = Rp 25.000.000
    35% x Rp 100.000.000 = Rp 35.000.000
    Total = Rp 71.250.000.
    2. Penghasilan Kena Pajak WP badan = Rp 300.000.950.
    Penghasilan Kena Pajak dibulatkan : Rp 300.000.000
    PPh nya adalah :
    10% x Rp 50.000.000 = Rp 5.000.000
    15% x Rp 50.000.000 = Rp 7.500.000
    30% x Rp 200.000.000 = Rp 60.000.000
    Total = Rp 72.500.000.


PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
    1. Pengertian
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen. PPN termasuk jenis pajak tidak langsung, maksudnya pajak tersebut disetor oleh pihak lain (pedagang) yang bukan penanggung pajak atau dengan kata lain, penanggung pajak (konsumen akhir) tidak menyetorkan langsung pajak yang ia tanggung.

    1. Barang tidak kena PPN
Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, meliputi:
  1. Minyak mentah.
  2. Gas bumi.
  3. Panas bumi.
  4. Pasir dan kerikil.
  5. Batu bara sebelum diproses menjadi briket batu bara.
  6. Bijih timah, bijih besi, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak, dan bijih bauksit.
Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat
    1. Objek Pajak Pertambahan Nilai
Apabila ditinjau dari jenis penyerahan yang menjadi objek PPN, maka terdapat 6 (enam) jenis PPN. Dari keenam jenis PPN, 2 (dua) jenis di antaranya dibatasi dengan unsur untuk dapat mengenakan PPN, yaitu PPN Barang dan PPN Jasa.

    1. Unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk dapat dikenakan PPN adalah:
  1. adanya penyerahan;
  2. yang diserahkan adalah Barang Kena Pajak (BKP);
  3. yang menyerahkan adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP);
  4. penyerahannya harus di Daerah Pabean, yaitu daerah Republik Indonesia;
  5. PKP yang menyerahkan harus dalam lingkungan perusahaan pekerjaannya terhadap barang yang dihasilkan.

    1. Penyerahan yang dikenakan PPN meliputi:
  1. penyerahan hak karena suatu perjanjian;
  2. pengalihan barang karena suatu perjanjian sewa-beli dan perjanjian leasing;
  3. penyerahan kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang;
  4. pemakaian sendiri dan pemberian cuma-cuma;
  5. penyerahan likuidasi atas aktiva yang tujuan semula tidak untuk diperjuabelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran, sepanjang PPN sewaktu memperoleh aktiva dapat dikreditkan menurut perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan;
  6. penyerahan dari cabang ke cabang lainnya, atau dari pusat ke cabang atau sebaliknya;
  7. penyerahan secara konsinyasi.

    1. Mekanisme pembayaran PPN
1.      Pembayaran PPN dengan Menitipkan Ke Pihak Penjual
Pembayaran PPN dengan cara menitipkan uang pembayarannya kepada pihak penjual, yaitu pihak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dan telah berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak, dilakukan dalam hal terjadi konsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak oleh siapapun dari pihak penjual atau pihak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak tersebut. Cara seperti ini merupakan cara yang paling umum dilakukan dan dikenal dengan mekanisme umum. Dengan mekanisme ini, pihak penjual atau pihak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak tersebut akan mendapatkan aliran uang masuk (cash inflow) berupa Pajak Pertambahan Nilai (Pajak Keluaran). Pajak Keluaran yang telah diterima dan merupakan cash inflow tersebut, akan disetorkan atau tidak disetorkan ke negara, tergantung kepada hasil pertandingan antara Pajak Keluaran tersebut dengan Pajak Masukan atau Cash Outflow.

  1. Pembayaran PPN Secara Langsung ke Negara
Mekanisme pembayaran Pajak Pertambahan Nilai dengan cara membayarkan secara langsung ke negara, dilakukan apabila:
a.       Dalam hal Pengusaha Kena Pajak menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak kepada Instansi Pemerintah, dimana instansi pemerintah tidak menitipkan uang pembayaran PPN kepada pihak penjual, melainkan langsung menyetorkannya ke negara;
b.      Dalam hal terjadi impor Barang Kena Pajak, dimana pihak yang melakukan impor akan membayar PPN secara langsung ke negara sebagai bagian dari persyaratan untuk menebus Barang Kena Pajak yang diimpornya;
c.       Dalam hal terjadi pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean, dimana pihak yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak akan menyetor sendiri PPN yang terutang dengan menggunakan Surat Setoran Pajak yang berfungsi sebagai Faktur Pajak Standar;
d.      Dalam hal terjadi pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean, dimana pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud tersebut akan menyetor sendiri PPN yang terutang dengan menggunakan Surat Setoran Pajak yang berfungsi sebagai Faktur Pajak Standar;
e.       Dalam hal terjadi kegiatan membangun bangunan yang dilakukan sendiri, apabila persyaratan-persyaratannya dipenuhi;
f.       Dalam hal terjadi penyerahan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, apabila persyaratan-persyaratannya dipenuhi;
g.      Dalam hal SPT Masa PPN berstatus kurang bayar yang disebabkan oleh jumlah Pajak Keluaran yang lebih besar dibandingkan dengan jumlah Pajak Masukan, dimana batas paling lambat untuk menyetorkan selisihnya (Pajak Keluaran –VS- Pajak Masukan) adalah pada tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya. Terdapat Pengusaha Kena Pajak tertentu yang Dasar Pengenaan Pajaknya menggunakan Nilai Lain, artinya jumlah Pajak Masukannya dianggap (deemed) selalu lebih kecil dibandingkan dengan jumlah Pajak Keluarannya, sehingga SPT Masa PPN-nya selalu berstatus kurang bayar.

    1. Karakteristik PPN
Sebagai pajak yang dikenakan terhadap kegiatan konsumsi, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut:
1.      Pajak Obyektif
PPN tergolong sebagai pajak yang obyektif, karena penekanannya mula-mula kepada obyeknya terlebih dahulu, baru kemudian kepada subyeknya. Siapapun subyeknya (masyarakat yang mampu maupun yang kurang mampu), akan dikenakan PPN, selama mereka mengonsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, di dalam daerah pabean.

FAKTUR PAJAK
Faktur pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh pengusaha kena pajak yang melakukan penyerahan barang kena pajak atau penyerahan jasakena pajak atau bukti pungutan pajak karena impor barang kena pajak yang digunakan oleh Direktorat jenderal Pajak. Bagi pengusaha kena pajak (PKP) faktur pajak ini merupakan bukti dari pemenuhan kewajiban perpajakannya. Bagi pembeli atau penerima jasa faktur pajak ini digunakan sebagai sarana pengkreditan pajak masukan.

Tarif Pajak Dan Cara Menghitung PPN/PPnBM
Berapa tarif PPN/PPnBM ?
  1. Tarif PPN adalah 10% (sepuluh persen)
  2. Tarif PPn BM adalah serendah-rendahnya 10% (sepuluh persen) dan setinggi-tingginya 50% (lima puluh persen).
Perbedaan kelompok tarif tersebut didasarkan pada pengelompokan Barang Kena Pajak (BKP) yang tergolong mewah yang atas penyerahan/impor BKP-nya dikenakan PPn BM.
  1. Tarif PPN/ PPn BM atas ekspor BKP adalah 0% (nol persen).
Apa saja yang termasuk DPP ?
  1. PPN yang pemungutannya dilakukan oleh:
    1. Bendaharawan Pemerintah, harus disetor selambat-lambatnya tanggal 7 bulan takwim berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
    2. . Pemungut PPN selain Bendaharawan Pemerintah, harus disetor selambat-lambatnya tanggal 15 bulan takwim berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
    3. . Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang memungut PPN/ PPn BM atas Impor, harus menyetor dalam jangka waktu sehari setelah pemungutan pajak dilakukan.
C. Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Pajak Negara yang dikenakan terhadap bumi dan/atau bangunan berdasarkan Undang-undang nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 12 Tahun 1994.

PBB adalah pajak yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi/tanah dan/atau bangunan. Keadaan subyek (siapa yang membayar) tidak ikut menentukan besarnya pajak
.
Objek PBB adalah "Bumi dan/atau Bangunan":
Bumi : Permukaan bumi (tanah dan perairan) dan tubuh bumi yang ada dibawahnya.
Contoh : sawah, ladang, kebun, tanah. pekarangan, tambang, dll.
Bangunan : Konstruksi teknik yang ditanamkan atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan di wilayah Republik Indonesia.
Contoh : rumah tempat tinggal, bangunan tempat usaha, gedung bertingkat, pusat perbelanjaan, jalan tol, kolam renang, anjungan minyak lepas pantai, dll

Objek yang dikecualikan adalah objek yang :
1. Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum dibidang ibadah, sosial, pendidikan dan kebudayaan nasional yang tidak dimaksudkan memperoleh keuntungan, seperti mesjid, gereja, rumah sakit pemerintah, sekolah, panti asuhan, candi, dan lain-lain.
2. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala.
3. Merupakan hutan lindung, suaka alam, hutan wisata, taman nasional, dan lain-lain.
4. Dimiliki oleh Perwakilan Diplomatik berdasarkan azas timbal balik dan Organisasi Internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.
Subyek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata :
- mempunyai suatu hak atas bumi, dan atau;
- memperoleh manfaat atas bumi, dan atau;
- memiliki, menguasai atas bangunan, dan atau;
- memperoleh manfaat atas bangunan.

Wajib Pajak adalah Subyek Pajak yang dikenakan kewajiban membayar pajak
Dasar Penghitungan PBB
 Dasar penghitungan PBB adalah Nilai Jual Kena Pajak (NJKP).
Besarnya NJKP adalah sebagai berikut :
 Objek pajak perkebunan adalah 40%Ø
 Objek pajak kehutanan adalah 40%Ø
Objek pajak pertambangan adalah 20%Ø
Objek pajak lainnya (pedesaan dan perkotaan):
- apabila NJOP-nya > Rp1.000.000.000,00 adalah 40%
- apabila NJOP-nya < Rp1.000.000.000,00 adalah 20%

Tarif PBB
,
Besarnya tarif PBB adalah 0,5%
Rumus Penghitungan PBB
Rumus penghitungan PBB = Tarif x NJKP
a. Jika NJKP = 40% x (NJOP - NJOPTKP) maka besarnya PBB
= 0,5% x 40% x (NJOP-NJOPTKP)
= 0,2% x (NJOP-NJOPTKP)
b. Jika NJKP = 20% x (NJOP - NJOPTKP) maka besarnya PBB
= 0,5% x 20% x (NJOP-NJOPTKP)
= 0,1% x (NJOP-NJOPTKP)

Tempat Pembayaran PBB
Wajib Pajak yang telah menerima Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT), Surat Ketetapan Pajak (SKP) dan Surat Tagihan Pajak (STP) dari Kantor Pelayanan PBB atau disampaikan lewat Pemerintah Daerah harus melunasinya tepat waktu pada tempat pembayaran yang telah ditunjuk dalam SPPT yaitu Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro.

Saat Yang Menentukan Pajak Terutang
Saat yang menentukan pajak terutang menurut Pasal 8 ayat 2 UU PBB adalah keadaan Objek Pajak pada tanggal 1 Januari. Dengan demikian segala mutasi atau perubahan atas Objek Pajak yang terjadi setelah tanggal 1 Januari akan dikenakan pajak pada tahun berikutnya.
Contoh : A menjual tanah kepada B pada tanggal 2 Januari 1996.
Kewajiban PBB Tahun 1996 masih menjadi tanggung jawab A. Sejak Tahun Pajak 1997 kewajiban PBB menjadi tanggung jawab B.
Pajak yang terjadi setelah tanggal 1 Januari akan dikenakan pajak pada tahun berikutnya.
Contoh : A menjual tanah kepada B pada tanggal 2 Januari 1996. Kewajiban PBB Tahun 1996 masih menjadi tanggung jawab A. Sejak Tahun Pajak 1997 kewajiban PBB menjadi tanggung jawab B.
D. Pengaturan Surat Tagihan Pajak Bumi dan Bangunan
Surat Tagihan Pajak (STP) adalah Surat Keputusan Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KP.PBB) untuk menagih pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar ditambah denda administrasi sebesar 2 (dua) persen per bulan.
Dasar Penerbitan STP
a. Wajib Pajak (WP) tidak melunasi pajak yang terutang sedangkan saat jatuh tempo pembayaran Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT)/Surat Ketetapan Pajak (SKP) telah lewat.\
b. WP melunasi pajak yang terutang setelah lewat saat jatuh tempo pembayaran SPPT/SKP tetapi denda administrasi tidak dilunasi.
Cara Penyampaian STP :
- Kantor Pelayanan PBB/Kantor Penyuluhan Pajak.
- Kantor Pos dan Giro.
- Pemerintah Daerah.\

Batas Waktu Pelunasan STP :
STP harus dilunasi selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal STP diterima WP.
Sanksi Administrasi
Sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) setiap bulan, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung dari saat jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran.\

E. Perkembangan dan Ruang Lingkup Pengaturan Pajak Buni dan Bangunan
Perkembangan Pajak Bumi dan Bangunan di Indonesia sudah cukup baik, karena dari tahun ke tahun telah banyak dilakukan berbagai kebijakan untuk meningkatkan penerimaan pajak sebagai sumber penerimaan Negara.


BEA METERAI
Pengertian
Bea Meterai merupakan pajak yang dikenakan terhadap dokumen yang menurut Undang-undang Bea Meterai menjadi objek Bea Meterai. Atas setiap dokumen yang menjadi objek Bea Meterai harus sudah dibubuhi benda meterai atau pelunasan Bea Meterai dengan menggunakan cara lain sebelum dokumen itu digunakan.

DASAR HUKUM
1.Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai
2.Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal Yang Dikenakan Bea Meterai.
3.Peraturan Menteri Keuangan Nomor 90/PMK.03/2005 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15/PMK.03/2005 Tentang Bentuk, Ukuran, Warna, Dan Desain Meterai Tempel Tahun 2005
4.Keputusan Menteri Keuangan Nomor 133b/KMK.04/2000 tentang Pelunasan Bea Meterai dengan Menggunakan Cara Lain.
5.Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-122b/PJ./2000 tentang Tatacara Pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan Tanda Bea Meterai Lunas dengan Mesin Teraan.
6.Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-122c/PJ./2000 tentang Tatacara Pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan Tanda Bea Meterai dengan Teknologi Percetakan.
7.Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-122d/PJ./2000 tentang Tatacara Pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan Tanda Bea Meterai dengan Sistem Komputerisasi.
8.Keputusan Menteri Keuangan Nomor 476/KMK.03/2002 tentang Pelunasan Bea Meterai dengan Cara Pemeteraian Kemudian.
9.Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-02/PJ./2003 tentang Tatacara Pemeteraian Kemudian.
10. Edaran Nomor 29/PJ.5/2000 tentang Dokumen Perbankan yang dikenakan Bea Meterai.


ISTILAH-ISTILAH

  • Dokumen adalah kertas yang berisikan tulisan yang mengandung arti dan maksud tentang perbuatan, keadaan atau kenyataan bagi seseorang dan atau pihak-pihak lain yang berkepentingan.
  • Benda Meterai adalah Meterai tempel dan Kertas Meterai yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia.
  • Tanda tangan adalah tanda tangan sebagaimana lazimnya dipergunakan, termasuk pula paraf, teraan atau cap tanda tangan atau cap paraf, teraan cap nama atau tanda lainnya sebagai pengganti tanda tangan.
  • Pemeteraian kemudian adalah suatu cara pelunasan Bea Meterai yang dilakukan oleh Pejabat Pos atas permintaan pemegang dokumen yang Bea Meterainya belum dilunasi sebagaimana mestinya.
  • Pejabat pos adalah pejabat PT Pos dan Giro yang diserahi tugas melayani permintaan pemeteraian kemudian.



OBJEK BEA METERAI
Pada prinsipnya dokumen yang harus dikenakan meterai adalah dokumen menyatakan nilai nominal sampai jumlah tertentu, dokumen yang bersifat perdata dan dokumen yang digunakan di muka pengadilan, antara lain :
a.
Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata.
Akta-akta notaris termasuk salinannya.
c.
Akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah termasuk rangkap-rangkapnya
d.
Surat yang memuat jumlah uang yaitu:

-
yang menyebutkan penerimaan uang;

-
yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening bank;

-
yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank

-
yang berisi pengakuan bahwa utang uang seluruhnya atau sebagian telah dilunasi atau diperhitungkan.
e.
Surat berharga seperti wesel, promes, aksep dan cek.
f.
Dokumen yang dikenakan Bea Meterai juga terhadap dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan yaitu surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan, dan surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Meterai berdasarkan tujuannya, jika digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang lain, lain dan maksud semula.
  
TIDAK DIKENAKAN BEA METERAI

Secara umum dokumen yang tidak dikenakan bea meterai adalah dokumen yang berhubungan dengan transaksi intern perusahaan, berkaitan dengan pembayaran pajak dan dokumen Negara.
Dokumen yang tidak termasuk objek Bea Meterai adalah:
1.
Dokumen yang berupa:

-
surat penyimpanan barang;

-
konosemen;

-
surat angkutan penumpang dan barang;

-
keterangan pemindahan yang dituliskan diatas dokumen surat penyimpanan barang, konosemen, dan surat angkutan penumpang dan barang;

-
bukti untuk pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim;

-
surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim;

-
surat-surat lainnya yang dapat disamakan dengan surat-surat di atas.



2.
Segala bentuk ijazah
3.
Tanda terima gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan dan pembayaran lainnya yang ada kaitannya dengan hubungan kerja serta surat-surat yang diserahkan untuk mendapatkan pembayaran itu.
4.
Tanda bukti penerimaan uang negara dan kas negara, kas pemerintah daerah dan bank.
5.
Kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat disamakan dengan itu ke kas negara, kas pemerintah daerah dan bank.
6.
Tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi.
7.
Dokumen yang menyebutkan tabungan, pembayaran uang tabungan kepada penabung oleh bank, koperasi, dan badan-badan lainnya yang bergerak di bidang tersebut
8.
Surat gadai yang diberikan oleh Perum Pegadaian.
9.
Tanda pembagian keuntungan atau bunga dan Efek, dengan nama dan bentuk apapun.


TATA CARA PELUNASAN BEA METERAI
SAAT TERUTANG

Saat terutangnya bea meterai adalah saat sebelum dokumen yang terutang bea meterai tersebut digunakan. Dalam Pasal 5 Undang-undang No. 13 Tahun 1985 disebutkan saat terutangnya Bea Meterai adalah;
-
Dokumen yang dibuat oleh satu pihak adalah pada saat dokumen itu diserahkan;
-
Dokumen yang dibuat oleh lebih dan satu pihak adalah pada saat selesainya dokumen dibuat;
-
Dokumen yang dibuat di luar negeri adalah pada saat digunakan di Indonesia,
  
CARA PELUNASAN BEA METERAI


A.
Pelunasan Bea Meterai dengan Menggunakan Meterai Tempel



Cara mempergunakan meterai tempel ;

-
Meterai Tempel direkatkan seluruhnya dengan utuh dan tidak rusak di atas dokumen yang dikenakan Bea Meterai.

-
Meterai Tempel direkatkan di tempat dimana tanda tangan akan dibubuhkan.

-
Pembubuhan tanda tangan disertai dengan pencantuman tanggal, bulan, dan tahun dilakukan dengan tinta atau yang sejenis dengan itu, sehingga sebagian tanda tangan di atas kertas dan sebagian lagi di atas Meterai Tempel.

-
Jika digunakan lebih dan satu Meterai Tempel, tanda tangan harus dibubuhkan sebagian di atas semua Meterai Tempel dan sebagian di atas kertas.

-
Pelunasan Bea Meterai dengan menggunakan Meterai Tempel tetapi tidak memenuhi ketentuan di atas, dokumen yang bersangkutan dianggap tidak bermeterai.

B.
Pelunasan Bea Meterai dengan Menggunakan Kertas Meterai



Cara mempergunakan kertas meterai;

-
Sehelai Kertas Meterai hanya dapat digunakan untuk sekali pemakaian.

-
Kertas Meterai yang sudah digunakan, tidak boleh digunakan lagi.

-
Jika isi dokumen yang dikenakan Bea Meterai terlalu panjang untuk dimuat seluruhnya di atas Kertas Meterai yang digunakan, maka untuk bagian isi yang masih tertinggal dapat digunakan kertas tidak bermeterai.

-
Jika sehelai Kertas Meterai karena sesuatu hal tidak jadi digunakan dan dalam hal ini belum ditandatangani oleh yang berkepentingan, sedangkan dalam Kertas Meterai telah terlanjur ditulis dengan beberapa kata/kalimat yang belum merupakan suatu dokumen yang selesai dan kemudian tulisan yang ada pada Kertas Meterai tersebut dicoret dan dimuat tulisan atau keterangan baru, maka Kertas Meterai yang demikian dapat digunakan dan tidak Perlu dibubuhi meterai lagi.

-
Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud di atas tidak dipenuhi, dokumen yang bersangkutan dianggap tidak bermeterai.

C.
Pelunasan dengan membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan Mesin Teraan





Pelunasan dengan cara membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan Mesin Teraan memerlukan beberapa syarat sebagai berikut;

1.
Pelunasan Bea Meterai dengan mesin teraan meterai hanya diperkenankan kepada penerbit dokumen yang melakukan pemeteraian dengan jumlah rata-rata setiap hari minimal sebanyak 50 dokumen;

2.
Penerbit dokumen yang akan melakukan pelunasan Bea Meterai dengan mesin teraan meterai harus melakukan prosedur sebagai berikut;


-
mengajukan permohonan ijin secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak setempat dengan mencantumkan jenis/merk dan tahun pembuatan mesin teraan meterai yang akan digunakan, serta melampirkan surat pernyataan tentang jumlah rata-rata dokumen yang harus dilunasi Bea Meterai setiap hari.


-
melakukan penyetoran Bea Meterai di muka minimal sebesar Rp 15.000.000,- (lima belas juta rupiah) dengan menggunakan Surat Setoran Pajak Ke Kas Negara melalui Bank Persepsi.


-
Menyampaikan laporan bulanan penggunaan mesin teraan meterai kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak setempat paling lambat tanggal 15 setiap bulan.


-
Ijin penggunaan mesin teraan meterai berlaku selama 2 (dua) tahun sejak tanggal ditetapkannya, dan dapat diperpanjang selama memenuhi persyaratan.

D. 
Pelunasan dengan membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan Sistem Komputerisasi




1.
Pelunasan Bea Meterai dengan sistem komputerisasi hanya diperkenankan untuk dokumen yang berbentuk surat yang memuat jumlah uang dalam Pasal 1 huruf d PP No. 24 Tahun 2000 dengan jumlah rata-rata pemeteraian setiap hari minimal sebanyak 100 dokumen.

-mengajukan permohonan ijin secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak dengan mencantumkan jenis dokumen dan perkiraan jumlah rata-rata dokumen yang akan dilunasi Bea Meterai setiap hari.

-pembayaran Bea Meterai di muka minimal sebesar perkiraan jumlah dokumen yang harus dilunasi Bea Meterai setiap bulan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (ke Kas Negara melalui Bank Pensepsi).
-menyampaikan laporan bulanan tentang realisasi penggunaan dan saldo Bea Meterai kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat tanggal 15 setiap bulan.


2.
Ijin pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan sistem komputerisasi berlaku selama saldo Bea Meterai yang telah dibayar pada saat mengajukan ijin masih mencukupi kebutuhan pemeteraian 1 (satu) bulan berikutnya.





  
E.
Tata Cara Pelunasan Bea Meterai Dengan Teknologi Percetakan





1.
Pelunasan Bea Meterai dengan teknologi pencetakan hanya diperkenankan untuk dokumen yang berbentuk cek, bilyet giro, dan efek dengan nama dan dalam bentuk apapun.

2.
Penerbit dokumen yang akan melakukan pelunasan Bea Meterai dengan teknologi pencetakan harus melakukan prosedur sebagai berikut;


-
pembayaran Bea Meterai di muka sebesar jumlah dokumen yang harus dilunasi Bea Meterai, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak ke Kas Negara melalui Bank Persepsi.


-
mengajukan permohonan ijin secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak dengan mencantumkan jenis dokumen yang akan dilunasi Bea Meterai dan jumlah Bea Meterai yang telah dibayar.

3.
Perum Peruri dan perusahaan sekuriti yang melakukan pembubuhan tanda Bea Meterai Lunas pada cek, bilyet giro, atau efek dengan nama dan dalam bentuk apapun, harus menyampaikan laponan bulanan kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat tanggal 10 setiap bulan.

4.
Pelunasan Bea Meterai bagi dokumen yang dibuat di Luar Negeri


Dokumen yang dibuat di luar negeri tidak dikenakan Bea Meterai sepanjang tidak digunakan di Indonesia.
  
TARIF BEA METERAI

1.
Tarif Bea Meterai Rp 6.000,00 untuk dokumen sebagai berikut;

a.
Surat Perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat pendata

b.
Akta-akta Notaris termasuk salinannya

c.
Surat berharga seperti wesel, promes, dan aksep selama nominalnya lebih dan Rp1.000.000,00.;

d.
Dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka Pengadilan, yaitu:


-
surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan.


-
surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Meterai berdasarkan tujuannya, jika digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang lain selain dan tujuan semula.
2.
Untuk dokumen yang menyatakan nominal uang dengan batasan sebagai berikut;

-
nominal sampai Rp250.000,- tidak dikenakan Bea Meterai

-
nominal antara Rp250.000,- sampai Rp1.000.000,- dikenakan Bea Meterai Rp3.000,-

-
nominal diatas Rp 1.000.000,- dikenakan Bea Meterai Rp 6.000,-

3.

Cek dan Bilyet Giro dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp 3.000,- tanpa batas pengenaan besarnya harga nominal.
4.
Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang mempunyai harga nominal sampai dengan Rp1.000.000,- dikenakan Bea Meterai Rp 3.000,- sedangkan yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp 1.000.000,- dikenakan Bea Meterai Rp 6.000,-
5.
Sekumpulan Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang tercantum dalam surat kolektif yang mempunyai jumlah harga nominal sampai dengan Rp 1.000.000,- dikenakan   Bea Meterai Rp 3.000,-, sedangkan yang mempunyai harga nominal lebih dan Rp 1.000.000,- dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp 6.000,-.
 
KETENTUAN KHUSUS DAN SANKSI
KETENTUAN KHUSUS

a.
Dokumen yang dibuat di luar negeri pada saat digunakan di Indonesia harus telah dilunasi Bea Meterai yang terutang dengan cara pemeteraian kemudian.


b.
Pejabat Pemerintah, hakim, panitera, jurusita, notaris, dan pejabat umum lainnya, masing-masing dalam tugas atau jabatannya tidak dibenarkan:



-
Menerima, mempertimbangkan atau menyimpan dokumen yang Bea Meterainya tidak atau kurang dibayar;

-
Melekatkan dokumen yang Bea Meterainya tidak atau kurang dibayar sesuai dengan tarifnya pada dokumen lain yang berkaitan;

-
Membuat salinan, tembusan, rangkapan atau petikan dan dokumen yang Bea Meterainya tidak atau kurang dibayar;

-
Memberikan keterangan atau catatan pada dokumen yang tidak atau kurang dibayar sesuai dengan tarif Bea Meterainya.

Pelangganan terhadap ketentuan tersebut dikenakan sanksi administratif sesuai Peraturan perundang-undangan yang berlaku.

SANKSI ADMINISTRASI


Sanksi ini dikenakan apabila terjadinya pelanggaran yang mengakibatkan Bea Meterai yang harus dilunasi kurang bayar.


 -
Dokumen sebagaimana yang dimaksud dalam objek Bea Meterai tidak atau kurang dilunasi sebagaimana mestinya dikenakan denda administrasi sebesar 200% (dua ratus   persen) dari Bea Meterai yang tidak atau kurang dibayar.
-
Pemegang dokumen atas dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf (a) harus melunasi Bea Meterai terutang berikut dendanya dengan cara pemeteraian kemudian.

DALUWARSA

Kewajiban pemenuhan Bea Meterai dan denda administrasi yang terutang menurut Undang-Undang Bea Meterai, daluwarsa setelah lampau waktu 5 tahun, terhitung sejak tanggal dokumen dibuat.

PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH

1.    Pengertian Pajak Daerah
Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah pengertian Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut pajak, adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dengan demikian pajak daerah adalah iuran wajib pajak kepada daerah untuk membiayai pembangunan daerah. Pajak Daerah ditetapkan dengan undang-undang yang pelaksanaannya untuk di daerah diatur lebih lanjut dengan peraturan daerah. Pemerintah daerah dilarang melakukan pungutan selain pajak yang telah ditetapkan undang-undang (Pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009).
2.    Jenis-Jenis Pajak Daerah
Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terdapat 5 (lima) jenis pajak provinsi dan 11 (sebelas) jenis pajak kabupaten/kota. Secara rinci dapat dilihat dalam tabel berikut.
         Tabel 1. Perbandingan Jenis Pajak yang Dikelola Pemerintah Provinsi dan   Pemerintah Kabupaten/Kota
Pajak Provinsi
Pajak Kabupaten/Kota
  1. Pajak Kendaraan Bermotor
  2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
  3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
  4. Pajak Air Permukaan
  5. Pajak Rokok
  1. Pajak Hotel
  2. Pajak Restoran
  3. Pajak Hiburan
  4. Pajak Reklame
  5. Pajak Penerangan Jalan
  6. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
  7. Pajak Parkir
  8. Pajak Air Tanah
  9. Pajak Sarang Burung Walet
  10. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
  11. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
         Sumber : UU No 28 Tahun 2009
a.    Pajak yang Dikelola Provinsi
Ada lima jenis pajak yang dikelola oleh provinsi yaitu Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Pajak Air Permukaan dan Pajak Rokok.
1)        Pajak Kendaraan Bermotor
Pajak Kendaraan Bermotor adalah pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat, dan digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan, termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar yang dalam operasinya menggunakan roda dan motor dan tidak melekat secara permanen serta kendaraan bermotor yang dioperasikan di air (Pasal 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009).
Tarif Pajak Kendaraan Bermotor pribadi menurut Pasal 6 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ditetapkan sebagai berikut :
a)         untuk kepemilikan kendaraan bermotor pertama paling rendah sebesar 1% (satu persen) dan paling tinggi sebesar 2% (dua persen);
b)         untuk kepemilikan kendaraan bermotor kedua dan seterusnya tarif dapat ditetapkan secara progresif paling rendah sebesar 2% (dua persen) dan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).
Sedangkan tarif Pajak Kendaraan Bermotor angkutan umum, ambulans, pemadam kebakaran, sosial keagamaan, lembaga sosial dan keagamaan, Pemerintah/TNI/POLRI, Pemerintah Daerah, dan kendaraan lain yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah, ditetapkan paling rendah sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dan paling tinggi sebesar 1% (satu persen). Kemudian Tarif Pajak Kendaraan Bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar ditetapkan paling rendah sebesar 0,1% (nol koma satu persen) dan paling tinggi sebesar 0,2% (nol koma dua persen).
2)         Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar menukar, hibah, warisan, atau pemasukan ke dalam badan usaha (Pasal 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009).
Menurut Pasal 12 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah tarif Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor ditetapkan paling tinggi masing-masing sebagai berikut :
a.    penyerahan pertama sebesar 20% (dua puluh persen) dan
b.   penyerahan kedua dan seterusnya sebesar 1% (satu persen).
Khusus untuk kendaraan bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar yang tidak menggunakan jalan umum tarif pajak ditetapkan paling tinggi masing-masing sebagai berikut :
a.    penyerahan pertama sebesar 0,75% (nol koma tujuh puluh lima persen); dan
b.   penyerahan kedua dan seterusnya sebesar 0,075% (nol koma nol tujuh puluh lima persen).
3)         Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah pajak atas penggunaan bahan bakar kendaraan bermotor. Bahan bakar kendaraan bermotor adalah semua jenis bahan bakar cair atau gas yang digunakan untuk kendaraan bermotor (Pasal 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009). Tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen). Khusus tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor untuk bahan bakar kendaraan umum dapat ditetapkan paling sedikit 50% (lima puluh persen) lebih rendah dari tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor untuk kendaraan pribadi (Pasal 19 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009).
4)         Pajak Air Permukaan
Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pajak Air Permukaan adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan. Air permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah, tidak termasuk air laut, baik yang berada di laut maupun di darat. Tarif Pajak Air Permukaan ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (Pasal 24 Undang-Undang nomor 28 Tahun 2009).


5)         Pajak Rokok
Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh Pemerintah. Tarif Pajak Rokok ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) dari cukai rokok. Pajak Rokok dikenakan atas cukai rokok yang ditetapkan oleh Pemerintah (Pasal 29 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009).
Penerimaan pajak rokok, baik bagian Provinsi maupun bagian Kabupaten/kota, dialokasikan paling sedikit 50% untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum oleh aparat yang berwenang ( Pasal 31 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009).

b.   Pajak yang Dikelola Kabupaten/Kota
            Ada 11 jenis pajak yang dikelola oleh Kabupaten/Kota, pajak yang termasuk pajak yang dikelola Kabupaten/Kota adalah sebagai berikut :
1)        Pajak Hotel
Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan retribusi Daerah, Pajak Hotel adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh hotel. Hotel adalah fasilitas penyedia jasa penginapan/peristirahatan termasuk jasa terkait lainnya dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga motel, losmen, gubuk pariwisata, wisma pariwisata, pesanggrahan, rumah penginapan dan sejenisnya, serta rumah kos dengan jumlah kamar lebih dari 10 (sepuluh). Tarif Pajak Hotel ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (Pasal 35 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009).
2)          Pajak Restoran
Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah,  Pajak Restoran adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh restoran. Restoran adalah fasilitas penyedia makanan dan/atau minuman dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga rumah makan, kafetaria, kantin, warung, bar, dan sejenisnya termasuk jasa boga/katering. Tarif Pajak Restoran ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (Pasal 40 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009).
3)        Pajak Hiburan
Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak dan Retribusi Daerah, Pajak Hiburan adalah pajak atas penyelenggaraan hiburan. Hiburan adalah semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, dan/atau keramaian yang dinikmati dengan dipungut bayaran. Tarif Pajak Hiburan ditetapkan paling tinggi sebesar 35% (tiga puluh lima persen). Khusus untuk hiburan berupa pagelaran busana, kontes kecantikan, diskotik, karaoke, klab malam, permainan ketangkasan, panti pijat, dan mandi uap/spa, tarif Pajak Hiburan dapat ditetapkan paling tinggi sebesar 75% (tujuh puluh lima persen). Khusus hiburan kesenian rakyat/tradisional dikenakan tarif Pajak Hiburan ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (Pasal 45 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009).
4)        Pajak Reklame
Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pajak Reklame adalah pajak atas penyelenggaraan reklameReklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau untuk menarik perhatian umum terhadap barang, jasa, orang, atau badan, yang dapat dilihat, dibaca, didengar, dirasakan, dan/atau dinikmati oleh umum. Tarif Pajak Reklame ditetapkan paling tinggi sebesar 25% (Pasal 50 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009).
5)     Pajak Penerangan Jalan
Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pajak Penerangan Jalan adalah pajak atas penggunaan tenaga listrik, baik yang dihasilkan sendiri maupun diperoleh dari sumber lain. Tarif Pajak Penerangan Jalan ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen). Penggunaan tenaga listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam, tarif Pajak Penerangan Jalan ditetapkan paling tinggi sebesar 3% (tiga persen). Penggunaan tenaga listrik yang dihasilkan sendiri, tarif Pajak Penerangan Jalan ditetapkan paling tinggi sebesar 1,5% (Pasal 55 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009).
6)      Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan, baik dari sumber alam di dalam dan/atau permukaan bumi untuk dimanfaatkan. Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam peraturan perundang-undangan di bidang mineral dan batubara. Tarif Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan ditetapkan paling tinggi sebesar 25% (Pasal 60 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009).
7)        Pajak Parkir
Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pajak Parkir adalah pajak atas penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor. Parkir adalah keadaan tidak bergerak suatu kendaraan yang tidak bersifat sementara. Tarif Pajak Parkir ditetapkan paling tinggi sebesar 30% (Pasal  65 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009).
8)         Pajak Air Tanah
Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pajak Air Tanah adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah. Air Tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah. Tarif Pajak Air Tanah ditetapkan paling tinggi sebesar 20% (Pasal 70 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009).
9)       Pajak Sarang Burung Walet
Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pajak Sarang Burung Walet adalah pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet. Burung walet adalah satwa yang termasuk marga collocalia, yaitu collocalia fuchliap haga, collocalia maxina, collocalia esculanta, dan collocalia linchiTarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (Pasal 75 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009).
10)         Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah kabupaten/kota. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan pedalaman dan/atau laut. Tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan ditetapkan paling tinggi sebesar 0,3% (Pasal 80 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009).
11)    Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan. Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau Badan. Tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ditetapkan paling tinggi sebesar 5% (Pasal 88 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009).


2.   RETRIBUSI DAERAH.
Pengertian.
Retribusi Daerah, yang selanjutnya disebut Retribusi, adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan
Objek dan Golongan Retribusi.
Objek Retribusi adalah:
a)  Jasa Umum;
Retribusi yang dikenakan atas jasa umum digolongkan sebagai Retribusi Jasa Umum.
Jenis Retribusi Jasa Umum adalah:
  • Retribusi Pelayanan Kesehatan;
  • Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan;
  • Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akta Catatan Sipil;
  • Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat;
  • Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum;
  • Retribusi Pelayanan Pasar;
  • Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor;
  • Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran;Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta;
  • Retribusi Penyediaan dan/atau Penyedotan Kakus;
  • Retribusi Pengolahan Limbah Cair;Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang;
  • Retribusi Pelayanan Pendidikan; dan
  • Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi.
Jenis Retribusi sebagaimana dimaksud diatas dapat tidak dipungut apabila potensi penerimaannya kecil dan/atau atas kebijakan nasional/daerah untuk memberikan pelayanan tersebut secara cuma-cuma.
b)  Jasa Usaha;
Retribusi yang dikenakan atas jasa usaha digolongkan sebagai Retribusi Jasa Usaha
Objek  Retribusi  Jasa Usaha adalah pelayanan yang disediakan oleh Pemerintah Daerah dengan menganut prinsip komersial yang meliputi: pelayanan dengan menggunakan/memanfaatkan kekayaan Daerah yang belum dimanfaatkan secara optimal; dan/atau pelayanan oleh Pemerintah Daerah sepanjang belum disediakan secara memadai oleh pihak swasta.
Jenis Retribusi Jasa Usaha adalah:
  • Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah;
  • Retribusi Pasar Grosir dan/atau Pertokoan;
  • Retribusi Tempat Pelelangan;
  • Retribusi Terminal;
  • Retribusi Tempat Khusus Parkir;
  • Retribusi Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Villa;
  • Retribusi Rumah Potong Hewan;
  • Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan;
  • Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga;
  • Retribusi Penyeberangan di Air; dan
  • Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah
c)  Perizinan Tertentu.
Retribusi yang dikenakan atas perizinan tertentu digolongkan sebagai Retribusi Perizinan Tertentu.
Objek Retribusi Perizinan Tertentu adalah pelayanan perizinan tertentu oleh Pemerintah Daerah kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pengaturan dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan
Jenis Retribusi Perizinan Tertentu adalah:
  • Retribusi Izin Mendirikan Bangunan;
  • Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol;
  • Retribusi Izin Gangguan;
  • Retribusi Izin Trayek; dan
  • Retribusi Izin Usaha Perikanan.

DAFTAR PUSTAKA
UU No 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah
UU No 42 tahun 2009 tentang pajak pertambahan nilai
Undang . Undang Nomor. 13 tahun 1985 tentang Bea Meterai
UU 36 Tahun 2008  tentang pajak penghasilan
Undang-Undang Nomor 12 TAHUN 1994 tentang pajak bumi dan bangunan
Panduan Brevet Pajak: PPn, PPnBM, Bea Materai, PBB, BPHTB Oleh Djoko Muljono
Nurdiansyah, Bambang. 2004. Analisis Efektifitas Pemungutan Pajak dan Retribusi
Daerah dan Untuk Meningkatkan PAD dalam Rangka Otonomi Daerah.DISPENDA


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "PPh, PBB, PPN, Beamaterai, dan pajak daerah : Hukum Pajak"

Post a Comment

|Dukung kami dengan memberikan komentar yang membangun|