Pengertian dan Kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam Ketatanegaraan Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

suatu konstitusi merupakan suatu peraturan pokok (fundamental) mengenai soko-soko guru atau sendi-sendi pertama untuk menegakkan bangunan besar yang bernama “Negara”.5 Konstitusi di Indonesia adalah Undang- Undang Dasar 1945. 

Kata Konstitusi berarti “pembentukan”, berasal dari kata kerja“Constituer” (bahasa Prancis) yang berarti membentuk. Yang dibentuk adalah sebuah negara. Maka, Konstitusi mengandung permulaan dari segala peraturan mengenai suatu negara dizaman yang sudah cukup lama,para ahli filsafat sudah membagi bagi kekuasaan, yang kita kenal ada tiga yaitu : legeslatif,Yudikatif dan eksekutif.Tujuan tokoh dulu agar suatu negara terdapat keseimbangan dalam menjalankan pemerintahan dalam arti lain dapat saling mengontrol kinerja dari masing-masing lembaga, sehingga roda pemerintahan akan berjalan dengan baik dan sempurna.

Di Indonesia pun menganut sistim tersebut di dalam mengatur negara.Yang menjadi pertanyaan benarkah lembaga negara yang ada di Indonesia berjalan dengan semestinya?. Jawaban tentunya akan berbeda-beda. Menurut saya lembaga yang ada di indonesia belum menampakkan kerja yang sesui dari cita-cita yang dimaksud diatas, justru sangat jauh atau boleh dikata orang-orang yang duduk diatas atau lembaga tersebut banyak yang tidak mengetahui fungsi dari masing-masing jabatan yang diembanya. Dalam hidup bernegara, kita tidak dapat lepas dari sesuatu yang disebut hukum. Tidak ada satupun negara tanpa hukum. Karena memang fungsinya sangatlah krusial dalam mengatur kehidupan bernegara. 

2.  Rumusan Masalah
  • pengertian mahkamah Konstitusi
  • Mahkamah Konstitusi Dalam Ketatanegaraan Indonesia
  • Mahkamah Konstitusi Sebagi Peradialan Tata Negara
3. Tujuan
Dalam pembuatan paper ini bertujuan untuk bagaimana kita bisa memahami dan mengerti tentang hukum dan keadilan, karena kita ketahui bersama bahwa kita menganut hukum positif,dimana segala perbuatan atau tingkah laku manusia diatur oleh hukum. Oleh sebab itu hukum dan keadilan sangat penting untuk mencegah disintegrasi.

2. Metode Pengumpulan Data
Metode dalam pembuatan paper ini adalah menggunakan metode Normatif ; Literatur dan analisis Penulis


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi adalah institusi baru dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Institusi ini diadakan setelah dilakukannya perubahan atau amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Tepatnya diatur dalam pasal 24 ayat 2 yang menyatakan ''kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi". 

Oleh karena itu, dalam membicarakan kedudukan dan peranan MK dalam sitem ketatanegaraan Indonesia saat ini tidak bisa dilakukan tanpa terlebih dahulu meninjau sistem ketatanegaraan yang berlaku sebelum dilakukan amandemen terhadap UUD 1945 itu. 

Perubahan fundamental yang terjadi setelah dilakukannya amandemen terhadap UUD 1945 adalah berubahnya struktur dan mekanisme kerja lembaga-lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, yakni sistem yang bercorak vertical-hierakis menjadi horizontal-hierakis. Dalam sistem lama, yakni sistem yang bercorak vertical hierakis itu, lembaga-lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia disusun secara vertikal dan bertingkat dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) berada di struktur dan kedudukan sebagai lembaga tertinggi negara. 

Di bawahnya terdapat sejumlah lembaga negara, yakni presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Pertimbangan Agung (DPA), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Mahkamah Agung (MA) yang kedudukannya sederajat dan masing-masing diberi status sebagai lembaga tinggi negara. 

MPR diberi kedudukan sebagai lembaga tertinggi negara karena (MPR) dikonstruksikan sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. MPR secara hipotetik dianggap sebagai penjelmaan seluruh rakyat adalah keanggotaan MPR itu terdiri atas anggota DPR ditambah dengan utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan yang diatur dengan undang-undang. Oleh karena MPR dianggap sebagai penjelmaan seluruh rakyat, maka kepadanya diberi kekuasaan yang hampir tak terbatas yaitu sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat. 

Selanjutnya oleh karena MPR adalah pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat berarti seluruh kekuasaan dalam negara terpusat di MPR. Dengan kata lain, MPR-lah sumber dari seluruh kekuasaan yang ada di dalam negara. Dari sini kekuasaan itu dibagi-bagikan kepada lembaga-lembaga tinggi negara tadi, yakni Presiden, DPR, DPA, MA, dan BPK. 

Inilah alasan sistem ketatanegaraan Indonesisa sebelum dilakukan amandemen pertama terhadap UUD 1945 juga disebut sebagai sistem ketatanegaraan dengan supremasi MPR atau sistem pembagian kekuasaan (division of power). Dengan kekuasaan yang besar itu dalam praktiknya, MPR bisa berada di atas Undang-Undang Dasar atau bahkan MPR sama dengan negara itu sendiri. 

Atribut Kedaulatan Setelah dilakukan perubahan terhadap UUD 1945, keadaan itu berubah sama sekali. Tidak ada kualifikasi lembaga-lembaga negara ke dalam lembaga tertiggi dan tinggi negara. Semua lembaga negara kedudukannya sederajat. Lembaga-lembaga negara itu sesuai dengan fungsi-fungsinya. Memperoleh kedudukan dan kekuasaannya dari atau berdasarkan UUD dan pada saat yang sama dibatasi oleh UUD. 

Dalam hal ini UUD 1945 yang telah mengalami perubahan atau amandemen itu. Kedaulatan rakyat tidak lagi diserahkan sepenuhnya kepada satu lembaga melainkan oleh UUD. Atribut kedaulatan itu disebar kepada lembaga-lembaga negara yang ada. 
Mahkamah Konstitusi adalah bagian dari kekuasaan kehakiman, yaitu kekuasaan yang oleh UUD 1945 (yang telah diamandemen) diberi pengertian kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Makna kata-kata ''menegakkan hukum dan keadilan'' tersebut adalah berkait erat dengan paham negara hukum (rule of law). 

Paham inilah yang dianut di Indonesia. Secara tegas oleh UUD 1945 pasal 1 ayat 3 menyatakan ''Indonesia adalah negara hukum''. Sejauh ini diketahui ada tiga prinsip dasar yang berlaku dalam tiap negara hukum, yakni supremacy of law (supremasi hukum), equality before law (persamaan atau kesederajatan di hadapan hukum), due process of law (penegakan hukum yang tidak boleh dilakukan dengan melanggar hukum dengan melanggar hak-hak asasi manusia). Dari ketiga prinsip inilah kemudian diturunkan ciri-ciri yang secara umum digunakan sebagai indikator bahwa suatu negara menganut paham negara hukum, yakni adanya legalitas dalam arti hukum bahwa tindakan negara maupun warga negara harus didasarkan atas dan melalui hukum. 

Adanya pemisahan kekuasaan dalam negara, dalam arti bahwa kekuasaan negara itu tidak terpusat di satu tangan. Adanya kekuasaan kehakiman atau peradilan yang merdeka, dan adanya jaminan atau peradilan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Selain itu, ciri ini harus ada dalam konstitusi atau undang-undag suatu negara yang menganut paham negara hukum. Oleh karena konstitusi atau Undang-Undang Dasar adalah hukum dasar yang meladasi keseluruhan sistem hukum yang berlaku di suatu negara yang menganut paham negara hukum, maka "menegakkan hukum dan keadilan" adalah berarti menegakkan ketiga prinsip itu dalam kehidupan bernegara. 

Hal itu baru bisa dicapai, terutama apabila seluruh ketentuan hukum yang berlaku di suatu negara benar-benar mengacu dan tidak bertentangan dengan konstitusi atau UUD yang berlaku di negara itu. Ini sesungguhnya yang menjadi tugas utama Mahkamah Konstitusi yakni menjaga atau menjamin terselenggaranya konstitusionalitas hukum. Oleh karena itu, betapapun beragamnya kekuasaan untuk menegakkan prinsip konstitusionalitas hukum ini telah menjadi ciri umum yang berlaku di setiap negara yang memiliki MK dalam sistem ketatanegaraannya, terlepas dari soal apakah lembaga itu secara tegas disebut MK atau diberi sebutan lainnya. 

UUD 1945 memberikan kewenangan kepada MK untuk melakukan pengujian secara material undang-undang, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan tentang sengketa pemilihan umum, dan memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden atau Wakil Presiden. (Pasal 24 C ayat 1 dan 2). 

Kalau diperhatikan secara seksama, keseluruhan kewenangan yang dimiliki oleh MK itu, dalam arti luas sesungguhnya bisa dikembalikan kepada upaya menjaga tegaknya prinsip konstitusionalitas hukum. Hubungan MK dan MA Pertanyaannya kemudian, bagaimanakah hubungan MK dan MA. Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 menyatakan, MA berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang. Ketentuan ini secara implisit menunjukkan maksud pembentuk UUD untuk memberikan peran kepada MA sebagai penegak hukum dan keadilan tertinggi untuk persoalan yang lebih merupakan persoalan hukum sehari-hari. 

Sementara kewenangan MK adalah lebih ditujukan terhadap persoalan-persoalan yang langsung berkaitan dengan UUD. Namun, pada analisis terakhir, keduanya adalah sama-sama bertujuan untuk menegakkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam paham negara hukum. Uraian di atas menunjukkan pengertian bahwa ada perbedaan yang mendasar antara ruang lingkup yang terkandung dalam pengertian kekuasaan kehakiman sebelum dan sesudah dilakukan amandemen terhadap UUD 1945. Sebelum amandemen, tampak bahwa pengertian kekuasaan kehakiman diartikan terbatas pada upaya menegakkan hukum dan keadilan atas masalah-masalah yang tercakup dalam empat lingkungan peradilan (peradilan umum, peradilan militer, agama, dan peradilan tata usaha negara). 

Sementara setelah amandemen, pengertian menegakkan hukum dan keadilan menjadi lebih luas. Bukan hanya meliputi soal-soal yang termasuk dalam "wilayah" empat lingkungan peradilan tadi, melainkan upaya untuk menegakkan prinsip konstitusionalitas hukum. Bersamaan dengan itu, UUD 1945 juga membagi kewenangan yang ada di dalam kekuasaan kehakiman itu. 

Terhadap persoalan-persoalan yang berada dalam ruang lingkup lingkungan peradilan umum, militer, agama dan tata usaha negara, wewenangnya diberikan kepada MA dan pengadilan-pengadilan yang ada di bawahnya. Sedangkan terhadap persoalan-persoalan yang langsung berhubungan dengan UUD kewenangannya diberikan kepada MK. 

Perbedaan lainnya, sebagaimana tampak dalam uraian di awal tulisan ini, adalah kerangka teoretisnya. Sebelum amandemen, kedudukan kekuasaan kehakiman adalah diturunkan dari atau sebagai bagian dari pendistribusian kekuasaan yang diberikan oleh MPR (yang dengan demikian sesungguhnya berarti bertentangan dengan penjelasan UUD 1945 tetapi sekaligus juga bertentangan dengan hakikat kekuasaan kehakiman dalam sebuah negara yang menganut paham negara hukum yang menghendaki kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka). 

Setelah amandemen, kekuasaan kehakiman benar-benar diberi kualitas sebagai kekuasaan yang merdeka dalam rangka menegakkan prinsip-prinsip negara hukum dan kewenangan itu langsung diperoleh dari UUD, bukan dari lembaga lain yang dikonstruksikan sebagai lembaga tertinggi. 

Peranan MK sebagai institusi yang menegakkan prinsip konstitusionalitas hukum juga dapat dilihat dalam konteks sistem pemerintahan yang dianut UUD 1945. Diketahui empat ciri yang lazim ditemukan dalam sistem ini, yakni adanya masa jabatan presiden yang bersifat pasti (fixed executive system atau fixed term). Kepala negara adalah sekaligus kepala pemerintahan, adanya mekanisme saling mengawasi dan saling mengimbangi (checks and balances), serta adanya mekanisme impeachment. 

Sebagaimana dimaklumi, dalam sistem presidensial, impeachment dikatakan sebagai exceptional clause terhadap syarat fixed term. Maksudnya, pada dasarnya dalam sistem ini seorang presiden tidak dapat diberhentikan di tengah jalan atau sebelum masa jabatannya habis, sebab ia dipilih langsung oleh rakyat. Namun, sesuai dengan prinsip supremacy of law dan eguality before law, ia tetap bisa diberhentikan apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum sebagaimana yang ditentukan dalam UUD

2.2  Mahkamah Konstitusi RI dalam ketatanegaraan Indonesia.
Pemikiran mengenai pentingnya suatu mahkamah konstitusi telah muncul dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia sebelum merdeka. Pada saat pembahasan rancangan UUD di Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), anggota BPUPKI Prof. Muhammad Yamin telah mengemukakan pendapat bahwa Mahkamah Agung (MA) perlu diberi kewenangan untuk membanding undang-undang. Namun ide ini ditolok oleh Prof. Soepomo berdasarkan dua alasan, pertama, UUD yang sedang disusun pada saat itu (yang kemudian menjadi UUD 1945) tidak menganut paham trias politika. Kedua, pada saat itu jumlah sarjana hukum kita belum banyak dan belum memiliki pengalaman mengenai hal ini.

Ide pembentukan Mahkamah konstitusi pada era reformasi, mulai dikemukakan pada masa sidang kedua Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI (PAH I BP MPR), yaitu setelah seluruh anggota Badan Pekerja MPR RI melakukan studi banding di 21 negara mengenai konstitusi pada bulan Maret-April tahun 2000. Ide ini belum muncul pada saat perubahan pertama UUD 1945, bahkan belum ada satu pun fraksi di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang mengajukan usul itu. Nampaknya para anggota MPR sangat terpengaruh atas temuannya dalam studi banding tersebut. Walaupun demikian pada Sidang Tahunan MPR bulan Agustus tahun 2000, rancangan rumusan mengenai mahkamah konstitusi masih berupa beberapa alternatif dan belum final. Sesuai rancangan tersebut, mahkamah konstitusi di tempatkan dalam lingkungan mahkamah agung, dengan kewenangan untuk melakukan uji materil atas undang-undang; memberikan putusan atas pertentangan antar undang-undang; serta kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang. Ada usulan alternatif, agar di luar kewenangan tersebut mahkamah konstitusi juga diberi kewenangan untuk memberikan putusan atas persengketaan kewenangan antarlembaga negara, antar pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan antar pemerintah daerah.

Setelah dibahas kembali pada masa sidang PAH I BP MPR RI tahun 2000/2001, yaitu dalam rangka persiapan draft perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara repbulik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) untuk disahkan pada sidang tahunan 2001, terjadi banyak perubahan mengenai rumusan tentang mahkamah konstitusi. Persoalan pokok yang pertama adalah apakah mahkamah konstitusi ditempatkan di lingkungan mahkamah agung atau ditempatkan terpisah dari lingkungan mahkamah agung tetapi masih dalam rumpun kekuasaan kehakiman, dan persoalan kedua apa saja yang menjadi kewenangan mahkamah konstitusi.

Pertama, disepakati bahwa mahkamah konstitusi ditempatkan terpisah dan di luar lingkungan mahkamah agung akan tetapi tetap dalam lingkungan kekuasaan kehakiman, dengan pertimbangan bahwa lembaga ini adalah lembaga yang sangat penting untuk membangun negara yang berdasar sistem konstitusionalisme, sehingga lembaga ini berdiri sejajar dengan lembaga-lembaga negara lainnya yang secara tegas ditentukan kedudukan dan kewenangannya dalam undang-undang dasar. Terdapat kekhawatiran bahwa mahkamah agung tidak akan mampu membawa misi besar mahkamah konstitusi untuk membangun sistem konstitusionalisme karena pekerjaan mahkamah agung yang pada saat itu tidak mampu menyelesaikan perkara-perkara kasasi dan peninjauan kembali yang menumpuk. Jika ditambah lagi dengan tugas-tugas mahkamah konstitusi dikhawatirkan pekerjaan mahkamah agung akan terbengkalai. Pada sisi lain dibutuhkan satu mahkamah tersendiri yang berdiri sejajar dengan mahkamah agung dan lembaga-lembaga negara lainnya untuk menjalankan tugas mengawal sistem konstitusionalisme Indonesia. Dengan demikian posisi mahkamah konstitusi dalam ketatanegaraan Indonesia menjadi kuat.

Kedua, kewenangan mahkamah konstitusi disepakati untuk ditentukan secara limitatif dalam undang-undang dasar. Kesepakatan ini mengandung makna penting, karena mahkamah konstitusi akan menilai konstitusionalitas dari suatu undang-undang atau sengketa antar lembaga negara yang kewenangannya ditentukan dalam undang-undang dasar, karena itu sumber kewenangan mahkamah konstitusi harus langsung dari undang-undang dasar. Dengan demikian tidak ada ada satu lembaga negara yang dapat mempermasalahkan atau menggugurkan putusan mahkamah konstitusi. Pada sisi lain mahkamah konstitusi sebagai lembaga negara pengawal konstitusi tidak melakukan tindakan atau memberikan putusan yang keluar dari kewenangannya yang secara limitatif ditentukan dalam undang-undang dasar. Demikian juga halnya pembentuk undang-undang tidak dapat mengurangi kewenangan mahkamah konstitusi melalui ketentuan undang-undang sehingga melumpuhkan ide dasar pembentukan mahkamah konstitusi. Dengan prinsip inilah dihapus kesepakatan awal yang memungkinkan adanya kewenangan lain mahkamah konstitusi yang ditentukan undang-undang sebagaiman draft awal PAH I BP MPR RI tahun 2000.

Menurut UUD 1945, Mahkamah Konstitusi RI, memiliki 4 kewenangan, yaitu :
- menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar,
- memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan undang-undang dasar;
- memutus pembubaran partai politik;
- memutus perselisihan tentang hasil pemlihan umum.

Disamping itu dalam rangka proses pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden, atas permintaan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Mahkamah Konstitusi RI berkewajiban untuk memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atu Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Pembentukan mahkamah konstitusi diperlukan untuk menegakkan prinsip negara hukum Indonesia dan prinsip konstitusionalisme. Artinya tidak boleh ada undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya yang bertentangan dengan undang-undang dasar sebagai puncak dari tata urutan perundang-undangan di Indonesia. Dalam rangka pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar dibutuhkan sebuah mahkamah dalam rangka menjaga prinsip konstitusionalitas hukum. Tugas mahkamah konstitusilah yang menjaga konstitusionalitas hukum itu.

Pembentukan mahkmah konstitusi juga terkait dengan penataan kembali dan reposisioning lembaga-lembaga negara yang sebelum perubahan UUD 1945 berlandaskan pada supremasi MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Perubahan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang sebelum perubahan berbunyi “Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”, diubah menjadi “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar”, telah membawa implikasi yang sangat luas dan mendasar dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Artinya, sebelum perubahan, kedaulatan rakyat berpuncak pada MPR, dan MPR-lah sebagai penyelesaian final atas setiap masalah ketatanegaraan yang muncul baik atas konstitusionalitas dari suatu undang-undang maupun penyelesaian akhir sengketa antar lembaga negara. Dengan dasar konsepsional inilah ketetapan MPR RI No. III Tahun 2000 menentukan bahwa pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar dilakukan oleh MPR dan setiap lembaga negara melaporkan penyelenggaraan kinerjanya kepada MPR setiap tahun.

Implikasi perubahan Pasal 1 ayat (2) tersebut, posisi MPR sejajar dengan lembaga-lembaga negara lainnya dan masing-masing lembaga negara adalah pelaksana kedaulatan rakyat sesuai tugas dan kewenangannya yang ditentukan undang-undang dasar. Dengan demikian MPR melaksanakan kedaulatan rakyat untuk mengubah dan menetapkan undang-undang dasar, melantik presiden dan wakil presiden, memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden sesuai ketentuan undang-undang dasar, serta dalam hal-hal tertentu mengangkat presiden dan/atau wakil presiden. Mahkamah konstitusi merupakan pelaksana kedaulatan rakyat untuk menguji konstitusionalitas undang-undang terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan antara lembaga negara yang kewenangannya diatur dalam undang-undang dasar, memutus sengketa pemilihan umum serta memutus pembubaran partai politik. Demikian juga lembaga negara yang lainnya adalah pelaksana kedaulatan rakyat sesuai tugas dan wewenangnya yang ditentukan dalam undang-undang dasar.

Kewenangan mahkamah konstitusi yang dapat menyatakan tidak mempunyai kekuatan atas suatu undang-undang produk legislatif produk DPR dan Presiden serta memutuskan sengketa antar lembaga negara, menunjukkan posisinya yang lebih tinggi dari lembaga-lembaga negara lainnya. Hal ini wajar saja karena Undang-Undang Dasar memberikan otoritas kepada Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir paling absah dan authentik terhadap konstitusi. Walaupun demikian, pendapat dan penafsiran hukum mahkamah konstitusi yang dapat diterima penafsiran yang dikeluarkan melalui putusannya atas permohonan yang diajukan kepadanya sesuai lingkup kewenangannya untuk mengadili dan memutus suatu perkara. 

Dengan posisi yang demikian penting itu undang-undang dasar menetapkan kwalifikasi yang sangat ketat bagi anggota mahkamah konstitusi, antara lain memiliki integiritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan. Sembilan orang anggota mahkamah konstitusi juga merepresentasikan tiga unsur lembaga negara yaitu masing-masing-masing 3 orang anggota yang diajukan oleh presiden, DPR dan mahkamah agung. 

2.3 Mahkamah Konstitusi sebagai Peradilan Tatanegara
Pasal 24 C UUD 1945 menetapkan kewenangan Mahkamah Konstitusi yang meliputi :
(1) mengujiUndang-undang terhadap UUD,
(2)  memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD,
(3)  memutus pembubaran partai politik,
(4)  memutus sengketa tentang hasil pemilihan umum. 

Di samping empat kewenangan tersebut secara tegas dinyatakan pula oleh ayat (2) bahwa Mahkamah Konstitusi mempunyai kewajiban untuk memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. Ketentuan ini berhubungan dengan Pasal 7A dan Pasal 7B UUD 1945 yang berkaitan dengan proses pemberhentian Presiden dan/ atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya. 

Diantara  empat  kewenangan  dan  satu  kewajiban  tersebut  dua kewenangan pertama yaitu untuk menguji undang-undang terhadap UUD, dan memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD menjadikan Mahkamah Konstitusi sebagai sebuah badan peradilan yang berkarakteristik sendiri. Kewenangan tersebut hanya dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi yaitu kewenangan untuk pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Karakteristik yang dipunyai oleh Mahkamah Konstitusi dengan dua kewenangan pertama tersebut adalah karakteristik dari sebuah peradilan tata negara, sedangkan pada kewenangan lainnya krakteristik yang demikian tidak terlihat secara langsung. 
Adanya dua kewenangan  pertama  tersebut   menjadikan  lembaga  peradilan  yang melaksanakannya patut atau tepat untuk diberi nama Mahkamah Konstitusi. Hal yang demikian tidaklah terkait dengan dua kewenangan yang lain, artinya tanpa dua kewenangan yang pertama tersebut meskipun tetap mempunyai kewenangan lainnya, lembaga peradilan yang demikian tidak tepat untuk disebut atau dinamai Mahkamah Konstitusi. 

Dengan demikian dari pendekatan teori kewenangan Mahkamah Konstitusi dapat dibedakan antara kewenangan utama, yaitu kewenangan yang menjadikan lembaga tersebut merupakan peradilan tata negara yang oleh karenanya tepat untuk dinamai Mahkamah Konstitusi meliputi kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap UUD dan memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD serta kewenangan tambahan yaitu kewenangan yang tidak berkait langsung dengan peradilan tata negara yang berupa kewenangan untuk memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan hasil pemilihan umum dan satu kewajiban untuk memutus pendapat DPR. Perihal yang kemudian dapat diajukan sebagi sebuah pertanyaan adalah mengapa UUD setelah perubahan memerlukan adanya peradilan tata negara yang diperankan oleh Mahkamah Konstitusi, atau dengan kata lain adakah alasan yang relevan bagi eksistensi Mahkamah Konstitusi dalam UUD 1945 setelah perubahan. Guna memberi jawaban atas pertanyaan tersebut tentulah diperlukan sebuah kajian yang lebih mendasar tentang perubahan yang telah dilakukan terhadap UUD 1945. 

Dalam sebuah sistem konstitusional dan negara hukum, Undang Undang Dasar mempunyai kedudukan yang tinggi dan bahkan disebut sebagai hukum yang tertinggi. Seluruh penyelenggaraan negara harus mendasarkan pada Undang-Undang Dasar. Perkembangan dalam ilmu hukum tata negara, teori negara hukum dan sistem konstitusional telah dilengkapi dengan teori hierarki peraturan perundang-undangan yang artinya bahwa materi peraturan perundang- undangan tersusun secara hierarkis yang dipuncaki oleh UUD. Peraturan perundang-undangan yang ada dalam strata atau urutan di bawah dilarang secara normative bertentangan dengan peraturan yang berada di atasnya. 

BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Di dalam Ketatanegaraan Indonesia peran Mahkamah Konstitusi dalam melaksanakan peradilan tatanegra adalah untuk menegakkan norma-norma hukum tertinggi yang terdapat dalam UUD 1945, oleh karenanya seringkali peran peradilan tatanegara disebut sebagai “The Guardian of the Constitution”. Dalam konstitusi negara modern ditetapkan pula di dalamnya hak-hak warga negara, dan oleh karena hak-hak tersebut dicantumkan dalam konstitusi maka statusnya menjadi hak-hak konstitusi warga negara yang secara substantif harus ditegakkan pula oleh peradilan tata negara, dan oleh sebab itu peradilan tatanegara juga berfungsi sebagai “the guardian of citizens”.

Daftar Pustaka
  • Harjono  dalam  “Lembaga  Negara  dalam  UUD  1945”  Jurnal  Konstitusi  Vol.4  No.2,  Juni  2007,  h.16.
  • Republik Indonesia.

  • Undang-Undang tentang Komisi Yudisial. UU No. 22 Tahun 2004, LN No. 89, TLN No. 4415.

  • Harjono,  “Politik  Hukum  Perjanjian  Internasional”,  PT.  Bina  Ilmu,  1999,  h.37.

  • [5] Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, LN Nomor 157, TLN 5076.

  • Thohari,  A. Ahsin. “Kedudukan Komisi-komisi Negara dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia”, Jurnal Hukum Jentera. Edisi 12 Tahun III, April-Juni 2006

  • Komisi Yudisial Republik Indonesia, Laporan Tahunan Komisi Yudisial Republik Indonesia Tahun 2006, op. cit., hlm. 52.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Pengertian dan Kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam Ketatanegaraan Indonesia"

Post a Comment

|Dukung kami dengan memberikan komentar yang membangun|