Kekuasaan Kehakiman dalam mewujudkan keadilan hukum di indonesia


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 .Latar Belakang

                   Sebagai makhluk Sosial (Zoon Politicon) manusia dalam berinteraksi satu sama lain sering kali tidak dapat menghindari adanya bentrokan – bentrokan kepentingan (Conflict Of interest) diantara mereka. Konflik yang terjadi dapat menimbulkan kerugian, karena biasanya disertai dengan pelangaran hak dam kewajiban dari pihak satu terhadap pihak lain. Konflik – konflik semacam itu tidak mungkin dibiarkan begitu saja, tetapi memerlukan saran hukum untuk menyelesaikannya. Dalam keadan seperti itulah, hukum diperlukan untuk mengatasi berbagai persoalan yang terjadi. Sebagaimana ungkapan “ubi societas ibi ius” atau dimana ada masyrakat, mak disitu perlu hukum. Eksistensi hukum sangat diperlukan dalam mengatur dalam kehidupan manusia, tanpa hukum kehhidupan manusia akan liar, siapa kuat dialah yang menang / berkuasa. Tujuan hukum untuk melindungi kepentingan manusia dalm mempertahankan hak dan kewajibannya.Dalam rangka menegakan aturan – aturan hukum, maka di negara hukum seperti Indonesia ini, diperlukan adanya suatu istitusi yang dinamakan kekuasaan kehakiman (Judicative Power). Kekuasaan kehakiman ini bertugas untuk menegakan dan mengawasi berlakunya peraturan perundang – undangan tang berlaku (Ius Constitutum)Guna terwujudnya keadilan di Indonesia.

1.2  Rumusan Masalah
1.2.1 Apakah pengertian, tugas,tanggung jawab dan prinsip kekuasaan hakim ?
1.2.2  Lembaga apa sajakah yang memiliki wewenang untuk melaksanakan kekuasaan kehakiman?



BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian, Tugas, dan Tanggung jawab Hakim

a)      Pengertian Hakim
Pengertian hakim terdapat dalam Pasal 1 butir 8 KUHAP yang menyebutkan bahwa Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili. Selain di dalam KUHAP, pengertian hakim juga terdapat dalam Pasal 31 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, dalam pasal tersebut disebutkan bahwa hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang.
b)     Pengertian Kekuasaan Kehakiman
Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, seperti yang dinyatakan dalam penjelasan Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu bahwa “Kekuasaan Kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh dan campur tangan kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu, harus diadakan jaminan dalam Undang-Undang tentang kedudukan para hakim”. Hal ini berarti bahwa kedudukan para hakim harus dijamin oleh Undang-Undang. Salah satu ciri dari Negara hukum adalah terdapat suatu kemerdekaan hakim yang bebas, tidak memihak dan tidak dipengaruhi oleh Kekuasaan Legislatif dan Eksekutif. Kebebasan hakim tersebut tidak dapat diartikan bahwa hakim dapat melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap suatu perkara yang sedang ditanganinya, akan tetapi hakim tetap terikat pada peraturan hukum yang ada.
Hakim berbeda dengan pejabat-pejabat yang lain, ia harus benar-benar menguasai hukum, bukan sekedar mengandalkan kejujuran dan kemauan baiknya. Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa perbedaan antara pengadilan dan instansi-instansi lain ialah, bahwa pengadilan dalam melakukan tugasnya sehari-hari selalu secara positif dan aktif memperhatikan dan melaksanakan macam-macam peraturan hukum yang berlaku dalam suatu Negara. Di bidang hukum pidana hakim bertugas menerapkan apa in concreto ada oleh seorang terdakwa dilakukan suatu perbuatan melanggar hukum pidana. Untuk menetapkan ini oleh hakim harus dinyatakan secara tepat Hukum Pidana yang mana telah dilanggar (Wirjono Prodjodikoro, 1974 : 26-27)
Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan, hakim yang memimpin jalannya persidangan harus aktif bertanya dan memberi kesempatan kepada pihak terdakwa yang diwakili oleh penasihat hukumnya untuk bertanya kepada saksi-saksi, begitu pula kepada penuntut umum. Dengan demikian diharapkan kebenaran materil akan terungkap, dan hakimlah yang bertanggung jawab atas segala yang diputuskannya.
Masalah kebebasan hakim perlu dihubungkan dengan masalah bagaimana hakim dapat menemukan hukum berdasarkan keyakinannya dalam menangani suatu perkara. Kebebasan hakim dalam menemukan hukum tidaklah berarti ia menciptakan hukum. Tetapi untuk menemukan hukum, hakim dapat bercermin pada yurisprudensi dan pendapat ahli hukum terkenal yang biasa disebut dengan doktrin. Berhubungan dengan kebebasan hakim ini, perlu pula dijelaskan mengenai posisi hakim yang tidak memihak (impartial judge). Istilah tidak memihak disini tidak diartikan secara harafiah, karena dalam menjatuhkan putusannya hakim harus memihak kepada yang benar. Dalam hal ini, hakim tidak memihak diartikan tidak berat sebelah dalam pertimbangan dan penilaiannya. Hal ini secara tegas tercantum dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi : “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.” Hakim tidak memihak berarti juga bahwa hakim itu tidak menjalankan perintah dari pemerintah. Bahkan jika harus demikian, menurut hukum hakim dapat memutuskan menghukum pemerintah, misalnya tentang keharusan ganti kerugian yang tercantum dalam KUHAP (Andi Hamzah, 2005: 99-101`)
c)      Tugas dan Kewajiban Hakim
Dalam rangka penegakan hukum di Indonesia, tugas hakim adalah menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya, sehingga keputusan yang diambilnya mencerminkan rasa keadilan bangsa dan masyarakat Indonesia.
Untuk menegakkan hukum dan keadilan, seorang hakim mempunyai kewajiban-kewajiban atau tanggung jawab hukum. Kewajiban hakim sebagai salah satu organ lembaga peradilan tertuang dalam Bab IV Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Adapun kewajiban-kewajiban hakim tersebut adalah sebagai berikut :
1) Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang No.4 Tahun 2004)
2) Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang vbaik dan jahat dari terdakwa (Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang No.4 Tahun 2004)
3) Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah dan semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri mesipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat, atau panitera (Pasal 29 ayat (3) Undang-Undang No.4 Tahun 2004)
4) Ketua majelis, hakim anggota, wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah dan semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri mesipun telah bercerai, dengan pihak yang diadili atau advokat (Pasal 29 ayat (4) Undang-Undang No.4 Tahun 2004)
5) Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara (Pasal 29 ayat (5) Undang-Undang No.4 Tahun 2004)
6) Sebelum memangku jabatannya, hakim untuk masing-masing lingkungan peradilan wajib mengucapkan sumpah atau janjinya menurut agamanya (Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang No.4 Tahun 2004)
d)     Tanggung jawab Hakim
Adapun tanggungjawab kehakiman yaitu :
1)      Tanggung jawab moral
adalah tanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan kehidupan profesi yang bersangkutan (hakim), baik bersifat pribadi maupun bersifat kelembagaan bagi suatu lembaga yang merupakan wadah para hakim bersangkutan.
Secara filosofis, tujuan akhir profesi hakim adalah ditegakkannya keadilan. Cita hukum keadilan yang terapat dalam das sollen (kenyataan normatif) harus dapat diwujudkan dalam das sein (kenyataan alamiah) melalui nilai-nilai yang terdapat dalam etika profesi. Salah satu etika profesi yang telah lama menjadi pedoman profesi ini sejak masa awal perkembangan hukum dalam peradaban manusia adalah The Four Commandments for Judges dari Socrates. Kode etik hakim tersebut terdiri dari empat butir di bawah ini. :
1. To hear corteously (mendengar dengan sopan dan beradab).
2. To answer wisely (menjawab dengan arif dan bijaksana).
3. To consider soberly (mempertimbangkan tanpa terpengaruh apapun).
4. To decide impartially (memutus tidak berat sebelah).
Dalam bertingkah laku, sikap dan sifat hakim tercermin dalam lambang kehakiman dikenal sebagai Panca Dharma Hakim, yaitu:
1. Kartika, melambangkan Ketuhanan Yang Maha Esa;
2. Cakra, berarti seorang hakim dituntut untuk bersikap adil;
3. Candra, berarti hakim harus bersikap bijaksana atau berwibawa;
4. Sari, berarti hakim haruslah berbudi luhur atau tidak tercela; dan
5. Tirta, berarti seorang hakim harus jujur.
Sebagai perwujudan dari sikap dan sifat di atas, maka sebagai pejabat hukum, hakim harus memiliki etika kepribadian, yakni:
a. percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. menjunjung tinggi citra, wibawa, dan martabat hakim;
c. berkelakuan baik dan tidak tercela;
d. menjadi teladan bagi masyarakat;
e. menjauhkan diri dari perbuatan asusila dan kelakuan yang dicela oleh masyarakat;
f. tidak melakukan perbuatan yang merendahkan martabat hakim;
g. bersikap jujur, adil, penuh rasa tanggung jawab;
h. berkepribadian, sabar, bijaksana, berilmu;
i. bersemangat ingin maju (meningkatkan nilai peradilan);
j. dapat dipercaya; dan
k. berpandangan luas.
2.3.1.1 Sikap Hakim dalam Kedinasan
Sikap, sifat, dan etika kepribadian yang harus dimiliki oleh hakim seperti telah diuraikan di atas selanjutnya diimplementasikan di persidangan pada saat hakim menjalankan tugasnya. Edy Risdianto, hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mencontohkan salah satu bentuk tanggung jawab moral hakim yang ia terapkan dalam menjalankan tugasnya adalah tidak mengikutsertakan istri ke ruang sidang di pengadilan ketika sedang memimpin persidangan.26 Secara umum, yang harus dilakukan hakim terhadap pihak ketiga yang menjadi pencari keadilan dalam persidangan adalah:
1. bersikap dan bertindak menurut garis-garis yang ditentukan dalam hukum acara yang berlaku;
2. tidak dibenarkan bersikap yang menunjukkan memihak atau bersimpati atau antipati terhadap pihak-piha yang berperkara;
3. harus bersikap sopan, tegas, dan bijaksana dalam memimpin sidang, baik dalam ucapan maupun perbuatan;
4. harus menjaga kewibawaan dan kekhidmatan persidangan

2)      Tanggung jawab hukum
adalah tanggung jawab yang menjadi beban hakim untuk dapat melaksanakan tugasnya dengan tidak melanggar rambu-rambu hukum.
Beberapa peraturan perundang-undangan yang memiliki kaitan dengan hakim dan peradilan mencantumkan dan mengatur pula hal-hal seputar tanggung jawab hukum profesi hakim. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman mencantumkan beberapa tanggung jawab profesi yang harus ditaati oleh hakim, yaitu:
a. bahwa hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 28 ayat (1));
b. bahwa dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa (Pasal 28 ayat (2)); dan
c. bahwa hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikathubungan keluarga  sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami isteri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang Hakim Anggota, Jaksa, Advokat, atau Panitera (Pasal 29 ayat
(3)).Selain peraturan perundang-undangan yang menguraikan tanggung jawab profesi hakim sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman secara umum, terdapat pula ketentuan yang mengatur secara khusus mengenai tanggung jawab profesi Hakim Agung, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. Undang-undang ini mengatur ketentuan-ketentuan yang harus ditaati dan menjadi tanggung jawab Hakim Agung, di antaranya sebagai berikut.
a. Pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa Hakim Agung tidak bolehmerangkap menjadi:
- pelaksana putusan Mahkamah Agung;
- wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan suatu perkara yang akan atau sedang diperiksa olehnya;
- penasehat hukum; dan
- pengusaha.
b. Pasal 12 ayat (1) menyatakan bahwa Hakim Anggota Mahkamah Agung dapat diberhentikan tidak dengan hormat dengan alasan:
- dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5(lima) tahun atau lebih;
- melakukan perbuatan tercela;
- terus menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya;
- melanggar sumpah atau janji jabatan; dan
- melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10.
c. Pasal 41 ayat (1) menyatakan bahwa hakim wajib mengundurkan diri dari suatu persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau isteri meskipun telah bercerai dengan salah seorang Hakim Anggota atau Panitera pada majelis hakim.
d. Pasal 41 ayat (4) menyatakan jika seorang hakim yang memutus perkara dalam tingkat pertama atau tingkat banding, kemudian telah menjadi Hakim Agung, maka Hakim Agung tersebut dilarang memeriksa perkara yang sama.
e. Pasal 42 ayat (1) menyatakan bahwa seorang hakim tidak diperkenankan mengadili suatu perkara yang ia sendiri berkepentingan, baik langsung maupun tidak langsung. Di samping kedua undang-undang di atas, peraturan berbentuk undangundang lainnya yang mencantumkan ketentuan mengenai tanggung jawab profesi hakim adalah:
1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial;
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum;
4. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara;
5. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
6. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak; dan
7. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer

3)      Tanggung jawab teknis profesi
adalah merupakan tuntutan bagi hakim untuk melaksanakan tugasnya secara profesional sesuai dengan kriteria teknis yang berlaku dalam bidang profesi yang bersangkutan, baik bersifat umum maupun ketentuan khusus dalam lembaganya. Pada jenis tanggung jawab ini, penilaian terhadap sesuai atau tidaknya tindakan yang dilakukan oleh hakim dengan ketentuan yang berlaku menjadi hal yang paling diutamakan. Selain itu, penilaian terhadap kinerja dan profesionalisme hakim dalam menjalankan tugasnya juga menjadi perhatian. Setiap hakim dituntut mampu mempertanggungjawabkan tindakannya sebagai profesional di bidang hukum, baik di dalam maupun di luar kedinasan, secara materi dan formil. Oleh karena itu, adalah suatu hal yang mutlak bagi para hakim untuk memahami secara mendalam aturan-aturan mengenai hukum acara di persidangan. Ketidakmampuan hakim dalam mempertanggungjawabkan tindakannya secara teknis atau dikenal dengan istilah unprofessional conduct dianggap sebagai pelanggaran.
,
e)      Prinsip Pelaksanaan Kekuasaan Kehakiman
Dalam penyelenggaran kekuasaan kehakiman, hakim perlu memperhatikan enam prinsip kehakiman yaitu :
1. Independensi (Independence principle)
Independensi hakim dan pengadilan terwujud dalam kemandirian dan kemerdekaan hakim, baik secara personal maupun institusi, dari berbagai pengaruh dari luar diri hakim berupe intervensi yang bersifat mempengaruhi secara halus, dengan tekanan, paksaan, kekerasan, atau balasan karena kepentingan politik atau ekonomi tertentu dari pemerintah atau kekuatan politik yang berkuasa, kelompok atau golongan, dengan ancaman penderitaan atau kerugian tertentu, atau dengan imbalan atau janji imbalan berupa keuntungan jabatan, keuntungan ekonomi, ataupun bentuk-bentuk lainnya.
2. Ketidakberpihakan (Impartiality principle)
Ketidakberpihakan mencakup sikap netral, menjaga jarak yang sama dengan semua pihak yang terkait dengan perkara, dan tidak mengutamakan salah satu pihak manapun, dengan disertai penghayatan mendalam mengenai keseimbangan antar kepentingan yang terkait dengan perkara.
3. Integritas (Integrity principle)
Integritas hakim merupakan sikap batin yang mencerminkan keutuhan dan keseimbangan kepribadian setiap hakim sebagai pribadi dan sebagai pejabat negara dalam menjalankan tugas jabatannya.
4. Kepantasan dan Kesopanan (Propriety principle)
Kepantasan tercermin dalam penampilan dan perilaku pribadi yang berhubungan dengan kemampuan menempatkan diri dengan tepat, baik mengenai tempat, waktu, tata busana, tata suara, atau kegiatan tertentu. Sedangkan kessopanan terwujud dalam perilaku hormat dan tidak merendahkan orang lain dalam pergaulan, baik dalam tutur kata lisan, tulisan, atau bahasa tubuh, dalam bertindak, bekerja, dan bertingkah laku ataupun bergaul.
5. Kesetaraan (Equality principle)
Prinsip kesetaraan ini secara esensial melekat dalam sikap setiap hakim untuk memperlakukan setiap pihak dalm persidangan atau pihak-pihak lain terkait dengan perkara.
6. Kecakapan dan Keseksamaan (Competence and Diligence principle)
Kecakapan tercermin dalam kemampuan profesional hakim yang diperoleh dari pendidikan, pelatihan, dan/atau pengalaman dalam menjalankan tugas. Sementara itu, keseksamaan merupakan sikappribadi hakim yang menggambarkan kecermatan, kehati-hatian, ketelitian, ketekunan, dan kesungguhan dalam pelaksanaan tugas profesional hakim.



2.2 Lembaga-lembaga yang memiliki wewenang menjalankan kekuasaan kehakiman

Kekuasaan kehakiman, dalam konteks negara Indonesia, adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Menurut Pasal 24 ayat 1 Undang-Undang Dasar pasca Amandemen Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung RI, Badan-badan peradilan lain di bawah Mahkamah Agung (Peradilan Umum, PTUN, Peradilan Militer, Peradilan Agama) serta Mahkamah Konstitusi (Pasal 24 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945).
Penyelenggaraan kekuasaan Kehakiman tersebut diserahkan kepada badan-badan peradilan (Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Mahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggi dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya) (Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2). Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 telah membawa perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Berdasarkan perubahan tersebut ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh:

A. Mahkamah Agung
Mahkamah Agung (disingkat MA) adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Agung membawahi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara.
Ø  Peradilan Umum pada tingkat pertama dilakukan oleh Pengadilan Negeri, pada tingkat banding dilakukan oleh Pengadilan Tinggi dan pada tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Ø  Peradilan Agama pada tingkat pertama dilakukan oleh Pengadilan Agama, pada tingkat banding dilakukan oleh Pengadilan Tinggi Agama dan pada tingkat kasasi dilakukan ole Mahkamah Agung.
Ø  Peradilan Militer pada tingkat pertama dilakukan oleh Pengadilan Militer, pada tingkat banding dilakukan oleh Pengadilan Tinggi Militer dan pada tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Ø  Peradilan Tata Usaha negara pada tingkat pertama dilakukan oleh Pengadilan Tata Usaha negara, pada tingkat banding dilakukan oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dan pada tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung.

a)             Kewajiban dan wewenang
Menurut Undang-Undang Dasar 1945, kewajiban dan wewenang MA adalah:
Ø  Berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang.
Ø  Mengajukan 3 orang anggota Hakim Konstitusi
Ø  Memberikan pertimbangan dalam hal Presiden member grasi dan rehabilitasi

b)            Susunan Mahkamah Agung
o    Ketua
Mahkamah Agung dipimpin oleh seorang ketua. Ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh hakim agung, dan diangkat oleh Presiden.
o    Hakim Agung
Pada Mahkamah Agung terdapat Hakim Agung sebanyak maksimal 60 orang. Hakim Agung dapat berasal dari sistem karier (hakim), atau tidak berdasarkan sistem karier dari kalangan profesi atau akademisi. Calon Hakim Agung diusulkan oleh Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat, untuk kemudian mendapat persetujuan dan ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden.






B.  Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi (disingkat MK) adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Agung.

a.          Kewajiban dan wewenang
Menurut Undang-Undang Dasar 1945, kewajiban dan wewenang MK adalah:
Ø   Berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum
Ø  Wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD 1945.

b.        Susunan lembaga  makamah konstitusi
Ø  Ketua
Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh Hakim Konstitusi untuk masa jabatan 3 tahun. Masa jabatan Ketua MK selama 3 tahun yang diatur dalam UU 24/2003 ini sedikit aneh, karena masa jabatan Hakim Konstitusi sendiri adalah 5 tahun, sehingga berarti untuk masa jabatan kedua Ketua MK dalam satu masa jabatan Hakim Konstitusi berakhir sebelum waktunya (hanya 2 tahun).


C. Komisi Yudisial
Komisi Yudisial (KY), yang dibentuk melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, merupakan lembaga negara yang oleh Pasal 24B UUD 1945 diamanatkan memiliki beberapa wewenang, yaitu: (i) mengusulkan pengangkatan hakim agung; dan (ii) menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.46 Ketentuan dalam konstitusi tersebut menegaskan bahwa Komisi Yudisial dibentuk untuk melakukan dua  fungsi, yaitu
-          pengusulan pengangkatan hakim agung
-           pengawasan terhadap pelaksanaan pedoman perilaku hakim.
                  Peran yang terbatas tersebut juga tercantum dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Dengan demikian, jelaslah bahwa kewenangan Komisi Yudisal tidak lebih dari apa yang diatur oleh UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Mengenai pengawasan perilaku hakim, Pasal 22 undang-undang tersebut menguraikan tugas Komisi Yudisial dalam melaksanakan tanggung jawab ini, yaitu dengan menerima laporan masyarakat tentang perilaku hakim, dan melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran hakim, serta membuat laporan pemeriksaan dan rekomendasi yang disampaikan kepada Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, dengan tembusan pada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.




BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan atas pembahasan diatas dapat kita ketahui bahwa kekuasaan hakim yang bersifat independence mutlak sangat diperlukan untuk terciptanya suatu keadilan hokum. Kekuasaan Kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh dan campur tangan kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu, harus diadakan jaminan dalam Undang-Undang tentang kedudukan para hakim”. Hal ini berarti bahwa kedudukan para hakim harus dijamin oleh Undang-Undang. Salah satu ciri dari Negara hukum adalah terdapat suatu kemerdekaan hakim yang bebas, tidak memihak dan tidak dipengaruhi oleh Kekuasaan Legislatif dan Eksekutif. Kebebasan hakim tersebut tidak dapat diartikan bahwa hakim dapat melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap suatu perkara yang sedang ditanganinya, akan tetapi hakim tetap terikat pada peraturan hukum yang ada.
Dalam rangka penegakan hukum di Indonesia, tugas hakim adalah menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya, sehingga keputusan yang diambilnya mencerminkan rasa keadilan bangsa dan masyarakat Indonesia. Untuk menegakkan hukum dan keadilan, seorang hakim mempunyai kewajiban-kewajiban atau tanggung jawab hukum. Kewajiban hakim sebagai salah satu organ lembaga peradilan tertuang dalam Bab IV Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman
Hakim didalam menjalankan tugas juga tidak terlepas dari kode etik kehakiman, karena hakim  memiliki tugas,  prinsip-prinsip , serta tanggungjawab ,baik secara moralitas dan hokum. Untuk menjamin adanya keadilan maka hadirlah lembaga pengawas yang disebut komisi yudisial. Adapun lembaga-lembaga yang memiliki wewenang menjalankan kekuasaan kehakiman yaitu ; Makamah Agung, Makamah konstitusi, dan komisi yudisial/pengawas.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kekuasaan Kehakiman dalam mewujudkan keadilan hukum di indonesia"

Post a Comment

|Dukung kami dengan memberikan komentar yang membangun|