Kekuasaan Kehakiman dalam mewujudkan keadilan hukum di indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
.Latar Belakang
Sebagai makhluk Sosial (Zoon Politicon) manusia dalam berinteraksi satu sama
lain sering kali tidak dapat menghindari adanya bentrokan – bentrokan
kepentingan (Conflict Of interest) diantara mereka. Konflik yang terjadi
dapat menimbulkan kerugian, karena biasanya disertai dengan pelangaran hak dam
kewajiban dari pihak satu terhadap pihak lain. Konflik – konflik semacam itu
tidak mungkin dibiarkan begitu saja, tetapi memerlukan saran hukum untuk
menyelesaikannya. Dalam keadan seperti itulah, hukum diperlukan untuk mengatasi
berbagai persoalan yang terjadi. Sebagaimana ungkapan “ubi societas ibi ius”
atau dimana ada masyrakat, mak disitu perlu hukum. Eksistensi hukum sangat
diperlukan dalam mengatur dalam kehidupan manusia, tanpa hukum kehhidupan manusia
akan liar, siapa kuat dialah yang menang / berkuasa. Tujuan hukum untuk
melindungi kepentingan manusia dalm mempertahankan hak dan kewajibannya.Dalam
rangka menegakan aturan – aturan hukum, maka di negara hukum seperti Indonesia
ini, diperlukan adanya suatu istitusi yang dinamakan kekuasaan kehakiman
(Judicative Power). Kekuasaan kehakiman ini bertugas untuk menegakan dan
mengawasi berlakunya peraturan perundang – undangan tang berlaku (Ius
Constitutum)Guna terwujudnya keadilan di Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apakah
pengertian, tugas,tanggung jawab dan prinsip kekuasaan hakim ?
1.2.2 Lembaga apa sajakah yang memiliki wewenang
untuk melaksanakan kekuasaan kehakiman?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian, Tugas, dan Tanggung
jawab Hakim
a) Pengertian Hakim
Pengertian hakim terdapat dalam Pasal 1 butir 8 KUHAP yang
menyebutkan bahwa Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang
oleh Undang-Undang untuk mengadili. Selain di dalam KUHAP, pengertian hakim
juga terdapat dalam Pasal 31 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan
Kehakiman, dalam pasal tersebut disebutkan bahwa hakim adalah pejabat yang
melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang.
b)
Pengertian Kekuasaan Kehakiman
Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, seperti
yang dinyatakan dalam penjelasan Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu bahwa “Kekuasaan Kehakiman ialah
kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh dan campur tangan
kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu, harus diadakan jaminan dalam
Undang-Undang tentang kedudukan para hakim”. Hal ini berarti bahwa kedudukan
para hakim harus dijamin oleh Undang-Undang. Salah satu ciri dari Negara hukum
adalah terdapat suatu kemerdekaan hakim yang bebas, tidak memihak dan tidak
dipengaruhi oleh Kekuasaan Legislatif dan Eksekutif. Kebebasan hakim tersebut
tidak dapat diartikan bahwa hakim dapat melakukan tindakan sewenang-wenang
terhadap suatu perkara yang sedang ditanganinya, akan tetapi hakim tetap
terikat pada peraturan hukum yang ada.
Hakim berbeda dengan pejabat-pejabat yang lain, ia harus benar-benar menguasai hukum, bukan sekedar mengandalkan kejujuran dan kemauan baiknya. Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa perbedaan antara pengadilan dan instansi-instansi lain ialah, bahwa pengadilan dalam melakukan tugasnya sehari-hari selalu secara positif dan aktif memperhatikan dan melaksanakan macam-macam peraturan hukum yang berlaku dalam suatu Negara. Di bidang hukum pidana hakim bertugas menerapkan apa in concreto ada oleh seorang terdakwa dilakukan suatu perbuatan melanggar hukum pidana. Untuk menetapkan ini oleh hakim harus dinyatakan secara tepat Hukum Pidana yang mana telah dilanggar (Wirjono Prodjodikoro, 1974 : 26-27)
Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan, hakim yang memimpin jalannya persidangan harus aktif bertanya dan memberi kesempatan kepada pihak terdakwa yang diwakili oleh penasihat hukumnya untuk bertanya kepada saksi-saksi, begitu pula kepada penuntut umum. Dengan demikian diharapkan kebenaran materil akan terungkap, dan hakimlah yang bertanggung jawab atas segala yang diputuskannya.
Hakim berbeda dengan pejabat-pejabat yang lain, ia harus benar-benar menguasai hukum, bukan sekedar mengandalkan kejujuran dan kemauan baiknya. Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa perbedaan antara pengadilan dan instansi-instansi lain ialah, bahwa pengadilan dalam melakukan tugasnya sehari-hari selalu secara positif dan aktif memperhatikan dan melaksanakan macam-macam peraturan hukum yang berlaku dalam suatu Negara. Di bidang hukum pidana hakim bertugas menerapkan apa in concreto ada oleh seorang terdakwa dilakukan suatu perbuatan melanggar hukum pidana. Untuk menetapkan ini oleh hakim harus dinyatakan secara tepat Hukum Pidana yang mana telah dilanggar (Wirjono Prodjodikoro, 1974 : 26-27)
Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan, hakim yang memimpin jalannya persidangan harus aktif bertanya dan memberi kesempatan kepada pihak terdakwa yang diwakili oleh penasihat hukumnya untuk bertanya kepada saksi-saksi, begitu pula kepada penuntut umum. Dengan demikian diharapkan kebenaran materil akan terungkap, dan hakimlah yang bertanggung jawab atas segala yang diputuskannya.
Masalah kebebasan hakim perlu dihubungkan dengan masalah
bagaimana hakim dapat menemukan hukum berdasarkan keyakinannya dalam menangani
suatu perkara. Kebebasan hakim dalam menemukan hukum tidaklah berarti ia
menciptakan hukum. Tetapi untuk menemukan hukum, hakim dapat bercermin pada
yurisprudensi dan pendapat ahli hukum terkenal yang biasa disebut dengan
doktrin. Berhubungan dengan kebebasan hakim ini, perlu pula dijelaskan mengenai
posisi hakim yang tidak memihak (impartial judge). Istilah tidak memihak disini
tidak diartikan secara harafiah, karena dalam menjatuhkan putusannya hakim
harus memihak kepada yang benar. Dalam hal ini, hakim tidak memihak diartikan
tidak berat sebelah dalam pertimbangan dan penilaiannya. Hal ini secara tegas
tercantum dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang
Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi : “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan
tidak membeda-bedakan orang.” Hakim tidak memihak berarti juga bahwa hakim itu
tidak menjalankan perintah dari pemerintah. Bahkan jika harus demikian, menurut
hukum hakim dapat memutuskan menghukum pemerintah, misalnya tentang keharusan
ganti kerugian yang tercantum dalam KUHAP (Andi Hamzah, 2005: 99-101`)
c)
Tugas dan Kewajiban Hakim
Dalam rangka penegakan hukum di Indonesia, tugas hakim adalah
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila melalui perkara-perkara
yang dihadapkan kepadanya, sehingga keputusan yang diambilnya mencerminkan rasa
keadilan bangsa dan masyarakat Indonesia.
Untuk menegakkan hukum dan keadilan, seorang hakim mempunyai kewajiban-kewajiban atau tanggung jawab hukum. Kewajiban hakim sebagai salah satu organ lembaga peradilan tertuang dalam Bab IV Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Adapun kewajiban-kewajiban hakim tersebut adalah sebagai berikut :
Untuk menegakkan hukum dan keadilan, seorang hakim mempunyai kewajiban-kewajiban atau tanggung jawab hukum. Kewajiban hakim sebagai salah satu organ lembaga peradilan tertuang dalam Bab IV Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Adapun kewajiban-kewajiban hakim tersebut adalah sebagai berikut :
1) Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 28 ayat (1)
Undang-Undang No.4 Tahun 2004)
2) Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang vbaik dan jahat dari terdakwa (Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang No.4 Tahun 2004)
3) Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah dan semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri mesipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat, atau panitera (Pasal 29 ayat (3) Undang-Undang No.4 Tahun 2004)
2) Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang vbaik dan jahat dari terdakwa (Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang No.4 Tahun 2004)
3) Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah dan semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri mesipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat, atau panitera (Pasal 29 ayat (3) Undang-Undang No.4 Tahun 2004)
4) Ketua majelis, hakim anggota, wajib mengundurkan diri dari
persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah dan semenda sampai
derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri mesipun telah bercerai, dengan
pihak yang diadili atau advokat (Pasal 29 ayat (4) Undang-Undang No.4 Tahun
2004)
5) Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan
apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang
sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak
yang berperkara (Pasal 29 ayat (5) Undang-Undang No.4 Tahun 2004)
6) Sebelum memangku jabatannya, hakim untuk masing-masing
lingkungan peradilan wajib mengucapkan sumpah atau janjinya menurut agamanya
(Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang No.4 Tahun 2004)
d)
Tanggung jawab Hakim
Adapun tanggungjawab kehakiman yaitu :
1)
Tanggung jawab moral
adalah tanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai dan
norma-norma yang berlaku dalam lingkungan kehidupan profesi yang bersangkutan
(hakim), baik bersifat pribadi maupun bersifat kelembagaan bagi suatu lembaga
yang merupakan wadah para hakim bersangkutan.
Secara filosofis, tujuan akhir profesi hakim adalah
ditegakkannya keadilan. Cita hukum keadilan yang terapat dalam das sollen (kenyataan
normatif) harus dapat diwujudkan dalam das sein (kenyataan alamiah)
melalui nilai-nilai yang terdapat dalam etika profesi. Salah satu etika profesi
yang telah lama menjadi pedoman profesi ini sejak masa awal perkembangan hukum
dalam peradaban manusia adalah The Four Commandments for Judges dari
Socrates. Kode etik hakim tersebut terdiri dari empat butir di bawah ini. :
1. To hear corteously (mendengar dengan sopan dan
beradab).
2. To answer wisely (menjawab dengan arif dan
bijaksana).
3. To consider soberly (mempertimbangkan tanpa
terpengaruh apapun).
4. To decide impartially (memutus tidak berat
sebelah).
Dalam bertingkah laku, sikap dan sifat hakim tercermin dalam
lambang kehakiman dikenal sebagai Panca Dharma Hakim, yaitu:
1. Kartika, melambangkan Ketuhanan Yang Maha Esa;
2. Cakra, berarti seorang hakim dituntut untuk bersikap adil;
3. Candra, berarti hakim harus bersikap bijaksana atau
berwibawa;
4. Sari, berarti hakim haruslah berbudi luhur atau tidak
tercela; dan
5. Tirta, berarti seorang hakim harus jujur.
Sebagai perwujudan dari sikap dan sifat di atas, maka sebagai
pejabat hukum, hakim harus memiliki etika kepribadian, yakni:
a. percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. menjunjung tinggi citra, wibawa, dan martabat hakim;
c. berkelakuan baik dan tidak tercela;
d. menjadi teladan bagi masyarakat;
e. menjauhkan diri dari perbuatan asusila dan kelakuan yang
dicela oleh masyarakat;
f. tidak melakukan perbuatan yang merendahkan martabat hakim;
g. bersikap jujur, adil, penuh rasa tanggung jawab;
h. berkepribadian, sabar, bijaksana, berilmu;
i. bersemangat ingin maju (meningkatkan nilai peradilan);
j. dapat dipercaya; dan
k. berpandangan luas.
2.3.1.1 Sikap Hakim dalam Kedinasan
Sikap, sifat, dan etika kepribadian yang harus dimiliki oleh
hakim seperti telah diuraikan di atas selanjutnya diimplementasikan di
persidangan pada saat hakim menjalankan tugasnya. Edy Risdianto, hakim pada
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mencontohkan salah satu bentuk tanggung jawab
moral hakim yang ia terapkan dalam menjalankan tugasnya adalah tidak
mengikutsertakan istri ke ruang sidang di pengadilan ketika sedang memimpin
persidangan.26 Secara umum, yang harus dilakukan hakim terhadap pihak ketiga
yang menjadi pencari keadilan dalam persidangan adalah:
1. bersikap dan bertindak menurut garis-garis yang ditentukan
dalam hukum acara yang berlaku;
2. tidak dibenarkan bersikap yang menunjukkan memihak atau
bersimpati atau antipati terhadap pihak-piha yang berperkara;
3. harus bersikap sopan, tegas, dan bijaksana dalam memimpin
sidang, baik dalam ucapan maupun perbuatan;
4. harus menjaga kewibawaan dan kekhidmatan persidangan
2)
Tanggung jawab hukum
adalah tanggung jawab yang menjadi beban hakim untuk dapat
melaksanakan tugasnya dengan tidak melanggar rambu-rambu hukum.
Beberapa peraturan perundang-undangan yang memiliki kaitan dengan
hakim dan peradilan mencantumkan dan mengatur pula hal-hal seputar tanggung
jawab hukum profesi hakim. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman mencantumkan beberapa tanggung jawab profesi yang harus ditaati oleh
hakim, yaitu:
a. bahwa hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 28 ayat
(1));
b. bahwa dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim
wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa (Pasal 28 ayat
(2)); dan
c. bahwa hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan
apabila terikathubungan keluarga sedarah
atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami isteri meskipun telah
bercerai, dengan ketua, salah seorang Hakim Anggota, Jaksa, Advokat, atau
Panitera (Pasal 29 ayat
(3)).Selain peraturan perundang-undangan yang menguraikan
tanggung jawab profesi hakim sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman secara
umum, terdapat pula ketentuan yang mengatur secara khusus mengenai tanggung
jawab profesi Hakim Agung, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang
Mahkamah Agung. Undang-undang ini mengatur ketentuan-ketentuan yang harus
ditaati dan menjadi tanggung jawab Hakim Agung, di antaranya sebagai berikut.
a. Pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa Hakim Agung tidak
bolehmerangkap menjadi:
- pelaksana putusan Mahkamah Agung;
- wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan suatu
perkara yang akan atau sedang diperiksa olehnya;
- penasehat hukum; dan
- pengusaha.
b. Pasal 12 ayat (1) menyatakan bahwa Hakim Anggota Mahkamah
Agung dapat diberhentikan tidak dengan hormat dengan alasan:
- dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan
karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5(lima) tahun
atau lebih;
- melakukan perbuatan tercela;
- terus menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya;
- melanggar sumpah atau janji jabatan; dan
- melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10.
c. Pasal 41 ayat (1) menyatakan bahwa hakim wajib mengundurkan
diri dari suatu persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau
semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau isteri meskipun telah
bercerai dengan salah seorang Hakim Anggota atau Panitera pada majelis hakim.
d. Pasal 41 ayat (4) menyatakan jika seorang hakim yang
memutus perkara dalam tingkat pertama atau tingkat banding, kemudian telah
menjadi Hakim Agung, maka Hakim Agung tersebut dilarang memeriksa perkara yang
sama.
e. Pasal 42 ayat (1) menyatakan bahwa seorang hakim tidak
diperkenankan mengadili suatu perkara yang ia sendiri berkepentingan, baik
langsung maupun tidak langsung. Di samping kedua undang-undang di atas,
peraturan berbentuk undangundang lainnya yang mencantumkan ketentuan mengenai
tanggung jawab profesi hakim adalah:
1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas
Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial;
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
Undang- Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum;
4. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara;
5. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi;
6. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan
Pajak; dan
7. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan
Militer
3)
Tanggung jawab teknis profesi
adalah merupakan tuntutan bagi hakim untuk melaksanakan
tugasnya secara profesional sesuai dengan kriteria teknis yang berlaku dalam
bidang profesi yang bersangkutan, baik bersifat umum maupun ketentuan khusus
dalam lembaganya. Pada jenis tanggung jawab ini, penilaian terhadap sesuai atau
tidaknya tindakan yang dilakukan oleh hakim dengan ketentuan yang berlaku
menjadi hal yang paling diutamakan. Selain itu, penilaian terhadap kinerja dan
profesionalisme hakim dalam menjalankan tugasnya juga menjadi perhatian. Setiap
hakim dituntut mampu mempertanggungjawabkan tindakannya sebagai profesional di
bidang hukum, baik di dalam maupun di luar kedinasan, secara materi dan formil.
Oleh karena itu, adalah suatu hal yang mutlak bagi para hakim untuk memahami
secara mendalam aturan-aturan mengenai hukum acara di persidangan.
Ketidakmampuan hakim dalam mempertanggungjawabkan tindakannya secara teknis
atau dikenal dengan istilah unprofessional conduct dianggap sebagai
pelanggaran.
,
e)
Prinsip Pelaksanaan Kekuasaan Kehakiman
Dalam
penyelenggaran kekuasaan kehakiman, hakim perlu memperhatikan enam prinsip kehakiman
yaitu :
1. Independensi
(Independence principle)
Independensi
hakim dan pengadilan terwujud dalam kemandirian dan kemerdekaan hakim, baik
secara personal maupun institusi, dari berbagai pengaruh dari luar diri hakim
berupe intervensi yang bersifat mempengaruhi secara halus, dengan tekanan,
paksaan, kekerasan, atau balasan karena kepentingan politik atau ekonomi
tertentu dari pemerintah atau kekuatan politik yang berkuasa, kelompok atau
golongan, dengan ancaman penderitaan atau kerugian tertentu, atau dengan
imbalan atau janji imbalan berupa keuntungan jabatan, keuntungan ekonomi,
ataupun bentuk-bentuk lainnya.
2. Ketidakberpihakan
(Impartiality principle)
Ketidakberpihakan
mencakup sikap netral, menjaga jarak yang sama dengan semua pihak yang terkait
dengan perkara, dan tidak mengutamakan salah satu pihak manapun, dengan
disertai penghayatan mendalam mengenai keseimbangan antar kepentingan yang
terkait dengan perkara.
3. Integritas
(Integrity principle)
Integritas
hakim merupakan sikap batin yang mencerminkan keutuhan dan keseimbangan
kepribadian setiap hakim sebagai pribadi dan sebagai pejabat negara dalam
menjalankan tugas jabatannya.
4. Kepantasan
dan Kesopanan (Propriety principle)
Kepantasan
tercermin dalam penampilan dan perilaku pribadi yang berhubungan dengan
kemampuan menempatkan diri dengan tepat, baik mengenai tempat, waktu, tata
busana, tata suara, atau kegiatan tertentu. Sedangkan kessopanan terwujud dalam
perilaku hormat dan tidak merendahkan orang lain dalam pergaulan, baik dalam
tutur kata lisan, tulisan, atau bahasa tubuh, dalam bertindak, bekerja, dan
bertingkah laku ataupun bergaul.
5. Kesetaraan
(Equality principle)
Prinsip
kesetaraan ini secara esensial melekat dalam sikap setiap hakim untuk
memperlakukan setiap pihak dalm persidangan atau pihak-pihak lain terkait
dengan perkara.
6. Kecakapan
dan Keseksamaan (Competence and Diligence principle)
Kecakapan
tercermin dalam kemampuan profesional hakim yang diperoleh dari pendidikan,
pelatihan, dan/atau pengalaman dalam menjalankan tugas. Sementara itu,
keseksamaan merupakan sikappribadi hakim yang menggambarkan kecermatan,
kehati-hatian, ketelitian, ketekunan, dan kesungguhan dalam pelaksanaan tugas
profesional hakim.
2.2
Lembaga-lembaga yang memiliki wewenang menjalankan kekuasaan kehakiman
Kekuasaan kehakiman,
dalam konteks negara Indonesia, adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Menurut Pasal
24 ayat 1 Undang-Undang Dasar pasca Amandemen Kekuasaan kehakiman merupakan
kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah
Agung RI, Badan-badan peradilan lain di bawah Mahkamah Agung (Peradilan Umum,
PTUN, Peradilan Militer, Peradilan Agama) serta Mahkamah Konstitusi (Pasal 24
ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945).
Penyelenggaraan
kekuasaan Kehakiman tersebut diserahkan kepada badan-badan
peradilan (Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Mahkamah Agung
sebagai pengadilan tertinggi dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan
mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya) (Pasal 2
ayat (1) jo. Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2). Perubahan Undang-Undang Dasar 1945
telah membawa perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan dalam pelaksanaan
kekuasaan kehakiman. Berdasarkan perubahan tersebut ditegaskan bahwa kekuasaan
kehakiman dilaksanakan oleh:
A. Mahkamah Agung
Mahkamah Agung
(disingkat MA) adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan
Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Agung membawahi badan peradilan dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara.
Ø Peradilan
Umum pada tingkat pertama dilakukan oleh Pengadilan Negeri, pada tingkat
banding dilakukan oleh Pengadilan Tinggi dan pada tingkat kasasi dilakukan oleh
Mahkamah Agung.
Ø Peradilan
Agama pada tingkat pertama dilakukan oleh Pengadilan Agama, pada tingkat
banding dilakukan oleh Pengadilan Tinggi Agama dan pada tingkat kasasi
dilakukan ole Mahkamah Agung.
Ø Peradilan
Militer pada tingkat pertama dilakukan oleh Pengadilan Militer, pada tingkat
banding dilakukan oleh Pengadilan Tinggi Militer dan pada tingkat kasasi
dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Ø Peradilan
Tata Usaha negara pada tingkat pertama dilakukan oleh Pengadilan Tata Usaha
negara, pada tingkat banding dilakukan oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
dan pada tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung.
a)
Kewajiban dan wewenang
Menurut Undang-Undang Dasar 1945,
kewajiban dan wewenang MA adalah:
Ø Berwenang
mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah
Undang-Undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh
Undang-Undang.
Ø Mengajukan
3 orang anggota Hakim Konstitusi
Ø Memberikan
pertimbangan dalam hal Presiden member grasi dan rehabilitasi
b)
Susunan Mahkamah Agung
o Ketua
Mahkamah Agung dipimpin oleh seorang ketua. Ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh hakim agung, dan diangkat oleh Presiden.
Mahkamah Agung dipimpin oleh seorang ketua. Ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh hakim agung, dan diangkat oleh Presiden.
o Hakim
Agung
Pada Mahkamah Agung terdapat Hakim
Agung sebanyak maksimal 60 orang. Hakim Agung dapat berasal dari sistem karier
(hakim), atau tidak berdasarkan sistem karier dari kalangan profesi atau
akademisi. Calon Hakim Agung diusulkan oleh Komisi Yudisial kepada Dewan
Perwakilan Rakyat, untuk kemudian mendapat persetujuan dan ditetapkan sebagai
hakim agung oleh Presiden.
B.
Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi
(disingkat MK) adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan
Mahkamah Agung.
a.
Kewajiban dan wewenang
Menurut Undang-Undang Dasar 1945,
kewajiban dan wewenang MK adalah:
Ø Berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan
memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum
Ø Wajib
memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan
pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD 1945.
b.
Susunan lembaga makamah konstitusi
Ø Ketua
Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh Hakim Konstitusi untuk masa jabatan 3 tahun. Masa jabatan Ketua MK selama 3 tahun yang diatur dalam UU 24/2003 ini sedikit aneh, karena masa jabatan Hakim Konstitusi sendiri adalah 5 tahun, sehingga berarti untuk masa jabatan kedua Ketua MK dalam satu masa jabatan Hakim Konstitusi berakhir sebelum waktunya (hanya 2 tahun).
Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh Hakim Konstitusi untuk masa jabatan 3 tahun. Masa jabatan Ketua MK selama 3 tahun yang diatur dalam UU 24/2003 ini sedikit aneh, karena masa jabatan Hakim Konstitusi sendiri adalah 5 tahun, sehingga berarti untuk masa jabatan kedua Ketua MK dalam satu masa jabatan Hakim Konstitusi berakhir sebelum waktunya (hanya 2 tahun).
C. Komisi Yudisial
Komisi
Yudisial (KY), yang dibentuk melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang
Komisi Yudisial, merupakan lembaga negara yang oleh Pasal 24B UUD 1945
diamanatkan memiliki beberapa wewenang, yaitu: (i) mengusulkan pengangkatan
hakim agung; dan (ii) menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,
serta perilaku hakim.46 Ketentuan dalam konstitusi tersebut menegaskan bahwa
Komisi Yudisial dibentuk untuk melakukan dua
fungsi, yaitu
-
pengusulan
pengangkatan hakim agung
-
pengawasan terhadap pelaksanaan pedoman
perilaku hakim.
Peran yang terbatas tersebut juga
tercantum dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi
Yudisial. Dengan demikian, jelaslah bahwa kewenangan Komisi Yudisal tidak lebih
dari apa yang diatur oleh UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004
tentang Komisi Yudisial. Mengenai pengawasan perilaku hakim, Pasal 22 undang-undang
tersebut menguraikan tugas Komisi Yudisial dalam melaksanakan tanggung jawab
ini, yaitu dengan menerima laporan masyarakat tentang perilaku hakim, dan
melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran hakim, serta membuat laporan
pemeriksaan dan rekomendasi yang disampaikan kepada Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi, dengan tembusan pada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan atas pembahasan diatas dapat kita ketahui bahwa
kekuasaan hakim yang bersifat independence mutlak sangat diperlukan untuk
terciptanya suatu keadilan hokum. Kekuasaan Kehakiman ialah kekuasaan yang
merdeka, artinya terlepas dari pengaruh dan campur tangan kekuasaan pemerintah.
Berhubung dengan itu, harus diadakan jaminan dalam Undang-Undang tentang
kedudukan para hakim”. Hal ini berarti bahwa kedudukan para hakim harus dijamin
oleh Undang-Undang. Salah satu ciri dari Negara hukum adalah terdapat suatu
kemerdekaan hakim yang bebas, tidak memihak dan tidak dipengaruhi oleh Kekuasaan
Legislatif dan Eksekutif. Kebebasan hakim tersebut tidak dapat diartikan bahwa
hakim dapat melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap suatu perkara yang
sedang ditanganinya, akan tetapi hakim tetap terikat pada peraturan hukum yang
ada.
Dalam
rangka penegakan hukum di Indonesia, tugas hakim adalah menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila melalui perkara-perkara yang dihadapkan
kepadanya, sehingga keputusan yang diambilnya mencerminkan rasa keadilan bangsa
dan masyarakat Indonesia. Untuk menegakkan
hukum dan keadilan, seorang hakim mempunyai kewajiban-kewajiban atau tanggung
jawab hukum. Kewajiban hakim sebagai salah satu organ lembaga peradilan
tertuang dalam Bab IV Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan
Kehakiman
Hakim didalam menjalankan tugas juga tidak terlepas dari
kode etik kehakiman, karena hakim
memiliki tugas, prinsip-prinsip ,
serta tanggungjawab ,baik secara moralitas dan hokum. Untuk menjamin adanya
keadilan maka hadirlah lembaga pengawas yang disebut komisi yudisial. Adapun
lembaga-lembaga yang memiliki wewenang menjalankan kekuasaan kehakiman yaitu ;
Makamah Agung, Makamah konstitusi, dan komisi yudisial/pengawas.
0 Response to "Kekuasaan Kehakiman dalam mewujudkan keadilan hukum di indonesia"
Post a Comment
|Dukung kami dengan memberikan komentar yang membangun|