Hukum islam: Kedudukan Syariat Islam di indonesia yang kulturalisme dan pluralisme
I
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Meski bukan merupakan ide baru, tuntutan
penerapan syari’at Islam secara formal masih tetap menjadi agenda penting
banyak organisasi dan tokoh Muslim. Terlebih lagi di Indonesia dewasa ini yang
tengah dilanda krisis. Penegakan syari’at Islam menjadi satu tawaran alternatif
dalam rangka menyelesaikan berbagai persoalan di Indonesia. Poster, spanduk,
dan selebaran yang berbunyi “Selamatkan Indonesia dengan Syari’at Islam!,
Syari’at Islam adalah solusi final! Tegakkan Syari’ah dan Khilafah Islamiyah!”,
adalah pemandangan yang mudah ditemukan di berbagai tempat dihampir semua
penjuru daerah. Namun kenapa ada
organisasi islam yang malah melakukan perusakan fasilitas umum dalam aksi
demonstrasinya dengan bertopeng agama ?, tentunya hal ini juga menjadi
pertanyaan bagi kita semua. Hingga pro kontra keberadaan syariat islam dalam
kehidupan berbangsa terus bergulir disatu sisi ada pihak yang pro dan disatu
pihak kontra dengan alasan yang masuk akal juga.
Pasca reformasi 1998, usaha penegakan
syari’at Islam tidak hanya dilakukan melalui wacana dan aksi lapangan, tapi juga
melalui jalur konstitusi. Gagasan untuk menggunakan Piagam Madinah oleh PKS
(Partai Keadilan Sejahtera) adalah satu bukti penting dalam hal ini. Ia bisa
dilihat sebagai satu upaya politk untuk menghupkan kembali Piagam Jakarta, di
mana penegakkan syari’ah Islam dijamin konstitusi. Lebih dari itu, aspirasi
yang sama juga berlangsung di tingkat
lokal. Isu syari’ah Islam berkembang kuat di sejumlah wilayahb di Indonesia,
Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Cianjur di Jawa Barat, dan Bulukumba di
Sulawesi Selatan. Maka, tidak heran, jika banyak para politisi dan agamawan
yang berjuang keras dan terus mengampanyekan penegakan syari’at Islam, terlepas
motif dan kepentingan yang mendasari mereka.
Guna mencari jalan penegakan syari’at Islam yang lebih efektif dan
komprehensif, banyak dari kalangan penegak syari’at Islam yang menganggap bahwa
pendirian negara Islam menjadi agenda yang mesti dipikirkan dan dilaksanakan.
Negara Islam menjadi jaminan paling diandalkan dalam rangka pelaksanaan
syari’at Islam dalam kehidupan masyarakat. Dan isu negara Islam ini memang
menjadi satu poin penting yang berkembang di kalangan Muslim Indonesia,
khususnya di pesantren yang menjadi sasaran penelitian. Pertanyaannya apakah Negara ini hanya milik
orang islam ? Sesuaikah dengan pancasila dan UUD 1945 ? oleh karena itu
pemerintah harus benar-benar memperhatikan kaidah pluralism dan
multikulturalisme. Apabila syariat islam ini diterapkan di Indonesia untuk
seluruh umat maka dampak besar yang merusak dan menimbulkan disintegrasi akan
muncul. Jangan sampai hal yang paling pahit ini muncul lagi seperti kejadian
Perang Ambon, Perang Sampit dan lainnya yang sungguh terkutuk dan tidak
berprikemanusiaan. Mungkinkah agama mengajarkan kekerasan ? Apakah agama yang
mengajarkan membunuh ? tentu tidak hanya orangnya lah yang menyalahgunakan
perintah agama dan menjadikan agama sebagai topeng sehingga dapat mempropokasi
yang lainnya.seperti halnya perang sampit itu yang isunya berkembang di
masyarakat perang antara islam dan
Kristen tentunya hal ini akan mengancam
keutuhan NKRI.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang dapat dirumuskan
dari latar belakang diatas yaitu :\
1 Apakah yang dimaksud dengan syariat islam ?
2 Bagaimanakah pro kontra keberadaan syariat
islam di Indonesia terkait kulturalisme
dan pluralisme?
1.3 Tujuan :
1 Untuk dapat mengetahui pengertian syariat
islam
2 untuk dapat mengetahui keberadaan syariat
islam di Indonesia
1.4 Manfaat
Dengan penulisan makalah ini saya harapkan
dapat memperluas wawasan kita terkait keberadaan syariat islam di Indonesia ,
sehingga kita dapat memilah yang manakah sesuai dengan karakter bangsa kita .
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Syariat islam
Syariat Islam adalah hukum dan aturan Islam yang mengatur seluruh sendi
kehidupan umat Muslim. Selain berisi hukum dan aturan, syariat Islam juga
berisi penyelesaian masalah seluruh kehidupan ini. Maka oleh sebagian penganut
Islam, syariat Islam merupakan panduan menyeluruh dan sempurna seluruh
permasalahan hidup manusia dan kehidupan dunia ini.
Terkait dengan susunan tertib syariat, Al
Qur'an dalam surat Al Ahzab ayat 36 mengajarkan bahwa sekiranya Allah dan
Rasul-Nya sudah memutuskan suatu
perkara, maka umat Islam tidak diperkenankan mengambil ketentuan lain. Oleh
sebab itu, secara implisit dapat dipahami bahwa jika terdapat suatu perkara
yang Allah dan Rasul-Nya belum menetapkan ketentuannya, maka umat Islam dapat
menentukan sendiri ketetapannya itu. Pemahaman makna ini didukung oleh ayat Al
Qur'an dalam Surat Al Maidah (QS 5:101) yang menyatakan bahwa hal-hal yang
tidak dijelaskan ketentuannya sudah
dimaafkan Allah.
Syari’ah berasal dari kata syari’a,
berarti mengambil jalan yang memberikan akses pada sumber. Istilah syari’ah
juga berarti jalan hidup atau cara hidup. Akar kata syari’ah dan turunannya
dalam pengertian yang umum digunakan hanya dalam lima ayat al-Qur’an (QS. 5:48,
7:163, 42:13, 42:31, dan 45:18). Secara umum, syari’ah berarti “cara hidup Islam
yang ditetapkan berdasarkan wahyu Ilahi”. Jadi, ia tidak hanya mencakup
persoalan-persoalan legal dan jurisprudensial, tapi juga praktik-praktik ibadah
ritual, teologi, etik dan juga kesehatan personal dan tatakrama yang baik.[1]
Menurut Fazlur Rahman, syari’ah adalah
nilai-nilai agama yang diungkapkan secara fungsional dan dalam makna kongkret
dalam kehidupan yang bertujuan untuk mengarahkan hidup manusia dalam kebaikan.[2] Oleh
karena itu, sumber syari’ah adalah Al-Qur’an, Hadits, ilmu fiqh, kalam dan
berbagai ijtihad manusia. Maka, syari’ah tidak hanya bisa dipahami sebagai
aturan berdimensi tunggal, tetapi ia lebih merupakan pesan keagamaan yang
senantiasa berkembang dan membutuhkan inovasi terus-menerus.
Lain halnya dengan Abu A’la Al-Maududi. Ia berpandangan berbeda
dari Rahman. Menurut Maududi, syari’ah adalah hukum Tuhan yang mempunyai tujuan
untuk menunjukkan jalan paling baik bagi manusia dan memberinya cara serta
sarana untuk memenuhi kebutuhannya sebaik mungkin, tentu saja yang bermanfaat
bagi dirinya.[3] Karena
syari’ah adalah anugerah Tuhan, yang dijadikan tuntutan kehidupan manusia, maka
manusia harus bertugas mewujudkannya dan menerima hak itu secara maksimal.
Dalam hal ini, manusia tidak diperkenankan melakukan modifikasi, sebab hukum
Allah itu senantiasa unggul daripada ilmu pengetahuan manusia.
Secara normatif, syari’ah merupakan hukum
Tuhan yang dengan prinsip-prinsipnya mengatur semua aspek hubungan antar
manusia, dari ekonomi sampai politik, serta dari kehidupan batin sampai
pertalian suami dan istri. Hukum Tuhan ini juga disertai prinsip adanya
keyakinan akan Tuhan yang hadir di mana-mana dan Dia juga mengetahui apa yang
tidak diketahui manusia. Dalam hal ini, syari’ah adalah jalan menuju sumber
kehidupan selama dua puluh empat jam agar manusia senantiasa dekat dan
dilindungi penciptanya.[4]
Hingga dewasa ini, terdapat dua corak
pemahaman terhadap syari’ah yang berkembang di kalangan Muslim, konservatif dan
moderat. Corak pertama memahami syari’ah sebagai doktrin agama yang berlaku
sepanjang masa, sehingga tidak terdapat ruang untuk memodifikasi. Syari’ah
adalah aturan hukum yang tertuang dalam teks-teks al-Qur’an yang tidak lagi
membutuhkan penafsiran ulang berdasarkan tingkat peradaban ilmu pengetahuan
manusia.[5] Bagi
kalangan konservatif ini, kemunduran dan persoalan manusia sekarang ini terjadi
karena mereka mengabaikan dan berpaling dari syari’ah. Oleh karena itu, untuk
menciptakan kehidupan yang bermakna, harus dilakukan penegakkan syari’ah Islam
dalam setiap aspek kehidupan secara formal.
Kedua, corak moderate, menafsirkan
syari’ah sebagai produk pemahaman manusia terhadap sumber-sumber ajaran Islam
dalam konteks sejarah yang terus berkembang. Dalam hal ini, pemahaman syari’ah
tidak bersifat final, dan karenanya tidak mengakui kebenaran tunggal dalam
Islam. Syari’ah senantiasa diformulasikan dan direformasi dengan tujuan agar
Islam sesuai dengan perkembangan waktu dan ruang .
2.2 Pro
Kontra Penerapan dan Keberadaan Syariat islam di Indonesia terkait
multikulturalisme dan pluralisme
Aturan-aturan lokal yang mengacu pada syariat
Islam memang sedang populer di beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan.
Setidaknya sudah enam dari 24 kabupaten d Sulawesi Selatan yang mengadopsinya,
yakni Enrekang, Gowa, Takalar, Maros, Sinjai, dan Bulukumba. Pilihan mereka cukup
beralasan. Jajak pendapat yang dilakukan pemerintah daerah Sulawesi Selatan
pada awal 2002 menunjukkan 91,11 persen responden setuju pemberlakuan syariat
Islam.
Penerimaan
masyarakat tak lepas da-ri peran Komite Persiapan Penegakan Sya-riat Islam di
Sulawesi Selatan. Komite Sya-riat lahir dalam kongres umat Islam se-Sulawesi Selatan,
enam tahun lalu. Kongres memilih Abdul Azis Kahar Muzakkar sebagai ketua
komite. Dia adalah
putra Kahar Muzakkar, pemim-pin gerakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) Sulawesi Selatan pada 1950-an. Hanya dalam tempo setahun Komite Syariat berhasil membentuk perwakilan di semua kabupaten se-Sulawesi Selat-an. Mereka sudah tiga ka-li- melakukan kong-res. Hasilnya antara lain mendesak lembaga eksekutif dan legislatif memproses pemberlakuan sya-riat Islam di provinsi itu. Dalam kongres ke-dua pada 2001, Ko-mite Sya-riat melihat kesempatan pene-rapan syariat Is-lam di tingkat kabupa-ten melalui peraturan daerah dengan adanya otonomi daerah. Di bawah ko-man-do Abdul Azis, lembaga ini juga meng-usulkan Rancangan Undang-Undang Otonomi Khusus Syariat Islam di Sulawesi Selatan. “Syariat Islam itu sudah harga mati,” katanya. Menurut Abdul Azis, sejumlah peratur-an daerah yang ada sekarang belum bisa disebut syariat Islam, tapi aturan me-ngenai amar makruf nahi
mungkar. Jadi baru pada taraf mengatur kebaikan dan melarang keburukan. Sebab, sanksinya masih memakai pidana umum. “Kalau syariat Islam, hukumannya juga harus- menurut Islam,” kata Azis, yang juga anggota Dewan Perwakilan Daerah di Jakarta.
putra Kahar Muzakkar, pemim-pin gerakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) Sulawesi Selatan pada 1950-an. Hanya dalam tempo setahun Komite Syariat berhasil membentuk perwakilan di semua kabupaten se-Sulawesi Selat-an. Mereka sudah tiga ka-li- melakukan kong-res. Hasilnya antara lain mendesak lembaga eksekutif dan legislatif memproses pemberlakuan sya-riat Islam di provinsi itu. Dalam kongres ke-dua pada 2001, Ko-mite Sya-riat melihat kesempatan pene-rapan syariat Is-lam di tingkat kabupa-ten melalui peraturan daerah dengan adanya otonomi daerah. Di bawah ko-man-do Abdul Azis, lembaga ini juga meng-usulkan Rancangan Undang-Undang Otonomi Khusus Syariat Islam di Sulawesi Selatan. “Syariat Islam itu sudah harga mati,” katanya. Menurut Abdul Azis, sejumlah peratur-an daerah yang ada sekarang belum bisa disebut syariat Islam, tapi aturan me-ngenai amar makruf nahi
mungkar. Jadi baru pada taraf mengatur kebaikan dan melarang keburukan. Sebab, sanksinya masih memakai pidana umum. “Kalau syariat Islam, hukumannya juga harus- menurut Islam,” kata Azis, yang juga anggota Dewan Perwakilan Daerah di Jakarta.
Popularitas
Komite Syariat sempat ja-tuh saat merebaknya aksi terror bom. Saat kongres
kedua di Asrama Haji Sudiang, Makassar, pada Desember 2001, sebuah bom meledak
melukai tiga orang. Setahun kemudian dua bom meledak di dua bangunan milik
Jusuf Kalla (seka-rang Wakil Presiden RI) di Makassar, me-newaskan 3 orang dan
melukai 14 orang lainnya. Sejak itulah polisi mulai mengawasi- gerak-gerik
anggota Komite Sya-riat. Hasilnya, delapan dari 10 tersangka bom Makassar
mempunyai kaitan de-ngan Komite Syariat dan Laskar Jundullah. Las-kar ini merupakan
organisasi sa-yap militer Komite Syariat yang dibentuk sebagai reaksi peristiwa
pembantaian 200 warga muslim di Pesantren Walisongo, Poso, Sulawesi Tengah, pada
2000. Agus Dwikarna, panglima laskar itu, juga tokoh Komite Syariat. Agus
sendiri pada 13 Maret 2002 ditangkap bersama Jamal Balfas dan Tam-sil Linrung
di bandara Manila de-ngan tuduhan membawa bahan peledak-. Tamsil, penasihat
Komite Syariat dan anggota DPR dari Partai Keadilan Se-jahtera, dibebaskan
sebulan kemudian bersama Jamal. Sedangkan Agus hingga kini masih mendekam di
tahanan Filipina. “Saat itu muncul citra, organisasi ka-mi dekat dengan
kekerasan,” kata Sek-jen Komite Syariat Aswar Hasan. Citra negatif itu membuat
luntur
kepercayaan masyarakat kepada Komite Syariat. Aktivitas mereka mengalami kevakuman selama lebih dari dua tahun. Pelan-pelan Komite Syariat kemudian berbenah. Laskar Jundullah diubah namanya menjadi Korps Pemuda Islam-. Pakaian anggotanya berganti dari hitamhitam menjadi seragam putih-putih. Mereka juga menata kembali programnya dengan membentuk tim kerja menjelang pemilihan langsung beberapa kepala daerah. Komite itu membentuk pula kelompok kerja penyusun-an rancangan peraturan daerah yang bernapaskan syariat Islam. Kebangkitan juga ditunjukkan de-ngan memprakarsai Kongres Umat Islam III di Bulukumba, tahun la-lu. Kongres ini diha-diri wakil se-jumlah pemerintah daerah dan 36 organisasi- massa Islam. Bulukumba di-pilih untuk- di-pamer-kan kepada ratus-an peserta kongres sebagai proyek
per-contohan penerapan sya-riat Islam. Setelah Syariat Islam dijalankan di Bulukumba, tingkat kriminalitas turun hingga 80 persen. Daerah ini juga berhasil mengumpulkan zakat empat hingga lima kali lebih besar dibandingkan pajak. Peserta kongres membawa oleh-oleh berupa contoh peraturan yang bernuansa syariat Islam untuk disosialisasikan di daerah mereka. Menurut sumber Tempo, kelompok pendorong peraturan da-erah yang mengacu syariat Islam merupakan bagian dari jaringan Jamaah Islamiyah. Ke-lompok ini memilih jalur kons-titusi dan menilai tindak-an terror melalui pengeboman ter-hadap simbol-simbol Barat ha-nya membawa citra buruk dan merusak jaringan. “Tapi ke-lompok ini lebih cair,” kata-nya. Mereka mendapat sokong-an dan berjuang bersama orga-nisasi Islam lainnya. Namun me-reka tetap bercita-cita menja-dikan Indonesia sebagai negara Islam, sehingga perjuangan melalui peraturan daerah itu
hanya langkah awal. Komite Syariat memang baru ada di Sulawesi Selatan. Tapi sejumlah daerah telah mengesahkan peraturan yang mengacu pada syariat Islam. Di Ja-wa Barat sejumlah kabupaten sudah me-ngesahkan peraturan daerah antimaksiat. Di antaranya Indramayu, Tasikmalaya, Garut, Cianjur, Kota Depok, dan Kota Cianjur. Bupati Indramayu Irianto M.S. Syafiuddin mengaku, lahirnya per-aturan daerah antipelacuran dila-tar-belakangin citra negatif Indram-ayu seba-gai pemasok pelacur ke luar nege-ri-. Peraturan ini ingin membidik gene-rasi muda Indramayu agar lebih memperdalam agama dengan menetapkan sya-rat kelulusan siswa harus mampu membaca kitab suci Al-Quran. Bukan hanya Komite Syariat yang bergerak. Juru bicara Majelis Mujahidin Indo-nesia, Fauzan al-Anshari, juga mengakui saat ini organisasinya getol memasyarakatkan peraturan antimaksiat ke berbagai daerah. “Saya kebagian menggarap wilayah Jawa Barat,” kata Fauzan. Cara yang dipakai tidak ha-nya melalui lembaga legislatif atau ekse-kutif, tapi juga pendekatan melalui individu. Majelis Mujahidin menempuh jalur lam-bat setelah gagal memasukkan Piagam Jakarta yang mewajibkan umat Islam menjalankan syariatnya saat MPR meng-amendemen UUD 1945. Padahal sa-at itu rancangan perubahan undangundang dasar versi mereka sudah disiap-kan. Dalam kongres Majelis Mujahidin yang berlangsung di Solo, tiga tahun lalu, mereka juga mulai menyusun ji-nayat, semacam kitab undang-undang pi-dana (KUHP). Fauzan al-Anshari me-mimpin tim kecil penyusunan drafnya.
Na-mun hingga kini masih belum se-lesai. Menurut Ustad Wahyuddin, sekreta-ris- dewan penasihat MajelisMujahidin, lem-baganya selalu siap membantu daerah-daerah yang akan
membuat peraturan bernuansa syariat Islam. “Itu juga kalau diminta,” kata Wahyuddin, yang juga Direktur Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngruki, awa Tengah. Dua daerah yang pernah dia beri masukan adalah Cianjur dan Indra-mayu. Berbeda dengan di Jawa Ba-rat dan Sulawesi Selatan, ge-rak-an membuat peraturan dae-rah yang mengacu sya-riat Islam kurang populer di Jawa Timur. Mungkin karena peng-aruh Nahdlatul Ulama cukup besar di sana. Menurut Ketua Pengurus Wilayah NU Jawa Timur, Ali Maschan Moesa, kiai NU melihat bentuk negara dan dasar negara Indonesia sudah final. Mereka tidak pernah berjuang bagi syariat Islam dalam konteks bernegara. “NU hanya mendorong berlakunya syariat Islam dalam
masyarakat,” katanya. Di Jawa Timur, kelompok pengusung syariat Islam se-pert-i MMI dan FPI
(Front Pem-bela Islam) jumlah anggo-tanya amat kecil. Menurut Ali Maschan, kelompok-kelom-pok ini menganggap Islam universal. “Jika sudah mampu memasukkan syariat Islam dalam negara, mereka akan membentuk kekhalifah-an Islam. Sebuah pemerinta-han Islam dunia yang
tidak me-ngenal wilayah negara atau daerah.
kepercayaan masyarakat kepada Komite Syariat. Aktivitas mereka mengalami kevakuman selama lebih dari dua tahun. Pelan-pelan Komite Syariat kemudian berbenah. Laskar Jundullah diubah namanya menjadi Korps Pemuda Islam-. Pakaian anggotanya berganti dari hitamhitam menjadi seragam putih-putih. Mereka juga menata kembali programnya dengan membentuk tim kerja menjelang pemilihan langsung beberapa kepala daerah. Komite itu membentuk pula kelompok kerja penyusun-an rancangan peraturan daerah yang bernapaskan syariat Islam. Kebangkitan juga ditunjukkan de-ngan memprakarsai Kongres Umat Islam III di Bulukumba, tahun la-lu. Kongres ini diha-diri wakil se-jumlah pemerintah daerah dan 36 organisasi- massa Islam. Bulukumba di-pilih untuk- di-pamer-kan kepada ratus-an peserta kongres sebagai proyek
per-contohan penerapan sya-riat Islam. Setelah Syariat Islam dijalankan di Bulukumba, tingkat kriminalitas turun hingga 80 persen. Daerah ini juga berhasil mengumpulkan zakat empat hingga lima kali lebih besar dibandingkan pajak. Peserta kongres membawa oleh-oleh berupa contoh peraturan yang bernuansa syariat Islam untuk disosialisasikan di daerah mereka. Menurut sumber Tempo, kelompok pendorong peraturan da-erah yang mengacu syariat Islam merupakan bagian dari jaringan Jamaah Islamiyah. Ke-lompok ini memilih jalur kons-titusi dan menilai tindak-an terror melalui pengeboman ter-hadap simbol-simbol Barat ha-nya membawa citra buruk dan merusak jaringan. “Tapi ke-lompok ini lebih cair,” kata-nya. Mereka mendapat sokong-an dan berjuang bersama orga-nisasi Islam lainnya. Namun me-reka tetap bercita-cita menja-dikan Indonesia sebagai negara Islam, sehingga perjuangan melalui peraturan daerah itu
hanya langkah awal. Komite Syariat memang baru ada di Sulawesi Selatan. Tapi sejumlah daerah telah mengesahkan peraturan yang mengacu pada syariat Islam. Di Ja-wa Barat sejumlah kabupaten sudah me-ngesahkan peraturan daerah antimaksiat. Di antaranya Indramayu, Tasikmalaya, Garut, Cianjur, Kota Depok, dan Kota Cianjur. Bupati Indramayu Irianto M.S. Syafiuddin mengaku, lahirnya per-aturan daerah antipelacuran dila-tar-belakangin citra negatif Indram-ayu seba-gai pemasok pelacur ke luar nege-ri-. Peraturan ini ingin membidik gene-rasi muda Indramayu agar lebih memperdalam agama dengan menetapkan sya-rat kelulusan siswa harus mampu membaca kitab suci Al-Quran. Bukan hanya Komite Syariat yang bergerak. Juru bicara Majelis Mujahidin Indo-nesia, Fauzan al-Anshari, juga mengakui saat ini organisasinya getol memasyarakatkan peraturan antimaksiat ke berbagai daerah. “Saya kebagian menggarap wilayah Jawa Barat,” kata Fauzan. Cara yang dipakai tidak ha-nya melalui lembaga legislatif atau ekse-kutif, tapi juga pendekatan melalui individu. Majelis Mujahidin menempuh jalur lam-bat setelah gagal memasukkan Piagam Jakarta yang mewajibkan umat Islam menjalankan syariatnya saat MPR meng-amendemen UUD 1945. Padahal sa-at itu rancangan perubahan undangundang dasar versi mereka sudah disiap-kan. Dalam kongres Majelis Mujahidin yang berlangsung di Solo, tiga tahun lalu, mereka juga mulai menyusun ji-nayat, semacam kitab undang-undang pi-dana (KUHP). Fauzan al-Anshari me-mimpin tim kecil penyusunan drafnya.
Na-mun hingga kini masih belum se-lesai. Menurut Ustad Wahyuddin, sekreta-ris- dewan penasihat MajelisMujahidin, lem-baganya selalu siap membantu daerah-daerah yang akan
membuat peraturan bernuansa syariat Islam. “Itu juga kalau diminta,” kata Wahyuddin, yang juga Direktur Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngruki, awa Tengah. Dua daerah yang pernah dia beri masukan adalah Cianjur dan Indra-mayu. Berbeda dengan di Jawa Ba-rat dan Sulawesi Selatan, ge-rak-an membuat peraturan dae-rah yang mengacu sya-riat Islam kurang populer di Jawa Timur. Mungkin karena peng-aruh Nahdlatul Ulama cukup besar di sana. Menurut Ketua Pengurus Wilayah NU Jawa Timur, Ali Maschan Moesa, kiai NU melihat bentuk negara dan dasar negara Indonesia sudah final. Mereka tidak pernah berjuang bagi syariat Islam dalam konteks bernegara. “NU hanya mendorong berlakunya syariat Islam dalam
masyarakat,” katanya. Di Jawa Timur, kelompok pengusung syariat Islam se-pert-i MMI dan FPI
(Front Pem-bela Islam) jumlah anggo-tanya amat kecil. Menurut Ali Maschan, kelompok-kelom-pok ini menganggap Islam universal. “Jika sudah mampu memasukkan syariat Islam dalam negara, mereka akan membentuk kekhalifah-an Islam. Sebuah pemerinta-han Islam dunia yang
tidak me-ngenal wilayah negara atau daerah.
Sampai
sekarang, perbedaan pendapat dan interpretasi terhadap teks syari’ah masih
terus berlangsung. Ada kalangan yang menganggap bahwa Syari’ah berlaku terus
setiap zaman dan tidak mungkin berubah, namun ada juga anggapan bahwa Syari’ah
bersifat lentur pada dimensi ruang, waktu, dan kreativitas akal manusia. Bila
kita teliti, sebetulnya perbedaan interpretasi kedua kalangan di atas lebih
disebabkan oleh cara melakukan interpretasi teks keagamaan. Pada kalangan
konservatif, yang secara kebetulan sebagian besar pimpinan pondok pesantren di
Jawa Barat termasuk di dalamnya, syari’at Islam dianggap sebagai teks baku yang
tidak bisa diganggu gugat kebenarannya. Teks dipisahkan dari konteks
perkembangan ruang dan waktu serta dari kreativitas pemikiran manusia.
Sedangkan pada kalangan moderat, teks ditafsirkan dengan juga memperhatikan
konteks perkembangan pemikiran, zaman, dan bahasa manusia.
Melihat hal tersebut yang dijelaskan diatas
maka keberadaan styariat islam dalam hukum di Indonesia juga tidak sesuai
dengan pancasila dan UUD 1945. Bahkan
bagi syariat islam bahwa pancasila sebagai penghalang terselenggaranya syariat
islam secara menyeluruh , sehingga hal ini apabila diberikan waktu untuk terus
berlangsung maka akan terjadi disintegrasi multikulturalisme di Indonesia.
Sebenarnya
istilah syari’at Islam dapat mengandung dua makna, yaitu dalam makna luas dan
makna yang sempit. Dalam makna yang luas syari’at Islam mencakup seluruh ajaran
Islam yang terkandung dalam Al Qur’an dan As Sunnah termasuk aspek aqidah,
ahlak, ibadah serta hukum-hukum mua’malah. Sedangkan dalam arti sempit Syari’ah
Islam adalah hukum-hukum ibadah maupun mu’amalah (termasuk hukum pidana) yang
biasa disebut fiqh. Istilah syari’at Islam dalam makalah ini adalah dalam
pengertian yang sempit itu dan lebih khusus lagi adalah mengenai hukum pidana
Islam.
Sebelum
kedatangan penjajah Belanda hukum Islam ini sudah berlaku di kerajaan-kerajaan
Islam di Nusantara ini. Akan tetapi setelah kedatangan penjajah Belanda
penerapan syari’at Islam di persempit dalam bidang keperdataan saja khsususnya
bidang hukum keluarga (pernikaran). Adapun bidang hukum pidana dan bidang hukum
yang lainnya hanya dapat diterima apabila telah diresepsi ke dalam hukum adat
sehingga menjadi kewenangan pengadilan Bumi Putera pada saat itu yaitu
Landraad. Karena itulah Belanda mendirikan berbagai peradilan agama di
Indonesia dengan nama yang berbeda-beda di berbagai daerah, antara lain :
Kerapatan Qadi, Mahkamah Syariyah dan lain-lain.
Pemerintah
jajahan Belanda pada saat itu menerapkan adatrechtpolitik (Lihat
Daniel S. Lev, 1990) di Hindia Belanda yaitu membiarkan hukum adat tetap
berlaku bagi golongan Indonesia asli sedangkan bagi golongan Eropa berlaku
hukum Belanda berdasarkan asas konkordansi dari hukum yang berlaku di Negeri
Belanda. Demikian juga bagi golongan Cina dan Timur Asing berlaku hukumnya
masing-masing kecuali mereka menyatakan tunduk pada hukum golongan Eropa.
Dengan berlakunya pluralisme hukum di Indonesia pada saat itu, pemerintah
Belanda menerapakan suatu hukum untuk menjembataninya yaitu apa yang disebut
dengan hukum antar golongan yang diterapkan manakala terjadi sengketa atau
masalah antar orang yang tunduk pada hukum yang berbeda.
Setelah
Indonesia merdeka, sumber pembentukan hukum nasional Indonesia adalah bersumber
dari atau memperoleh pengaruh dari hukum Eropa warisan Belanda, hukum Islam
serta hukum Adat ( baca Daniel S.Lev, 1990). Akan tetapi tetap membiarkan dan
meneguhkan berlakunya hukum Islam bagi pemeluk Agama Islam pada bidang-bidang
hukum keluarga (hukum perkawinan, hukum waris, waqaf, hibah dan wasiat) yang
menjadi kewenangan Pengadilan Agama. Usaha-usaha untuk menerapkan syariat Islam
baik secara formal dengan melakukan transplantasi syari’ah ke dalam hukum
nasional Indonesia maupun dengan proses resepsi nilai-nilai syari’ah Islam
tetap dilakukan dan diperjuangkan oleh kalangan Islam.
Terdapat
perkembangan yang semakin menarik setelah 50 tahun Indonesia merdeka. Saling
pengaruh ketiga kelompok hukum ini mewarnai perdebatan politik hukum nasional
Indonesia bahkan nampak terjadi gesekan-gesekan sosial dalam pembangunan hukum
Indonesia, seperti dalam pembahasan mengenai undang-undang perkawinan,
undang-undang pengadilan agama dan pada saat ini rancangan undang-undang hukum
pidana. Walaupun harus diakui bahwa hingga saat sekarang ini pengaruh hukum
Eropa bahkan hukum Anglo-Amerika mendapat kedudukan yang semakin kuat terutama
dalam bidang hukum bisnis dan perdagangan, dan disusul oleh syari’at Islam
terutama dalam bidang bisnis keuangan dan perbankan. Sementara hukum Adat jauh
tertinggal dan hanya bertahan untuk sebahagiannya dalam hukum pertanahan.
Pada
bidang ibadah pemberlakuan syariat Islam tidak mendapat halangan sedikitpun.
Hal ini disebabkan oleh faham sekularisme yang memandang bahwa hal-hal yang
terkait dengan ibadah adalah urusan prinadi setiap orang dan urusan internal
agama masing-masing yang tidak bisa dicampuri oleh negara. Pada sisi lain,
pemberlakuan hukum pidana atau hukum perdata Islam dalam negara mendapatkan
tantangan perdebatan yang luas dari masyarakat karena akibat pandangan
sekularisme juga, yang memandang bahwa hukum agama tidak bisa masuk dalam ranah
negara atau publik.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Keberadaan syariat islam di Indonesia mengalami pro kontra karena memang
harus diakui bahwa Indonesia adalah Negara yang multikulturalisme dan
pluralisme sehingga didalam penentuan kebijakan apapun itu tidak boleh
mengesampingkan pihak lain atau golongan lainnya.
Tentunya bagi umat islam sangat setuju adanya
syariat islam bahkan adanya keinginan untuk membentuk Negara islam yang berawal
dari syariat islam itu. Namun bagi penganut agama lain tentunya menolak hal ini
karena bertentangan sangat jelas dengan pancasila dan UUD 1945. Di Indonesia
tidak satu agama tapi ada lebih dari satu agama, maka apabila syariat ini
diberlakukan secara nasional maka akan sangat dikawatirkan akan terjadi
disintegrasi dan mengancam keutuhan NKRI . pemerintah dalam hal ini harus tegas
bahwa Indonesia multikulturalisme bukan Negara islam. Sehingga tidak seharusnya
ada pemaksaan suatu idiologi agama terhadap agama lain. Di dalam pancasila dan
UUD 1945 mengakui adanya kebebasan beragama dan beribadat menurut kepercayaan
masing-masing. Syariat islam ini semakin mendapat kecaman dari berbagai pihak
apalagi kenyataan dilapangan organisasi islam berbuat anarkis, merusak dan
menghakimi orang lain dengan bertopengkan agama. Suatu kejadian yang tentunya
tidak kita harapkan terjadi lagi yaitu perang ambon, poso dan perang sampit
yang bertopeng agama juga. Hal ini sangat mencoreng Negara kita sebagai Negara
demokrasi, pancasila dan UUD 1945 seolah hilang dengan kejadian itu. Jadi marilah kita menjadikan pancasila
sebagai acuan kita dalam hidup dan menjalankan UUD 1945 , apabila di luar itu
artinya sudah tidak sesuai dan tidak benar. Akhir kata bahwa tidak ada agama di
Indonesia yang salah , tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan, atau
pembunuhan tetapi orang-orang yang menyalahgunakan agama itu yang salah dengan
mengedepankan kepentingan pribadinya tanpa melihat kepentingan umum.
3.2 Saran dan Kritik
Untuk lebih memahami bagaimana syariat islam
itu sesungguhnya dan realitanya maka perlu adanya penelitian dan analisis
terkait keberadaan syariat islam di Indonesia. Semoga makalah ini menjadi
gambaran awal kita mengenai syariat islam.
DAFTAR PUSTAKA
Saiful Mujani, “Syari’at Islam
dan Keterbatasan Demokrasi”, www.islamib.com,
05 Agustus 2001.
Daniel S. Lev, Hukum dan
Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, LP3ES, Jakarta, 1990.
Http:www//.Wikipedia.com : Syariat Islam , Acessed June 23, 2012
0 Response to "Hukum islam: Kedudukan Syariat Islam di indonesia yang kulturalisme dan pluralisme"
Post a Comment
|Dukung kami dengan memberikan komentar yang membangun|