Makalah : notaris , ppat dan akta oetentik
OLEH :
NO
|
NAMA
|
NIM
|
1
|
I KOMANG KABEH
|
1014041039
|
2
|
I NENGAH AGUS TRIPAYANA
|
1014041063
|
3
|
ADELIA HANDINI
|
1014041060
|
4
|
NI WAYAN WERDIANI
|
1014041045
|
5
|
PUTU EKA WARTAMYASA
|
10140410
|
BAB
I
PENDAHULUAN
- Latar
Belakang
Menyadari
semakin meluasnya aktivitas masyarakat dalam berbagai bidang dan semakin
bertambahnya penduduk dan kebutuhan manusia akan tanah menyebabkan kedudukan
tanah yang sangat penting terutama dalam penguasaan, penggunaannya dan
kepemilikannya. Khususnya hal ini semakin majunya aktivitas ekonomi, maka
banyak tanah yang tersangkut didalamnya, meluasnya aktivitas itu yang umumnya
berupa bertambah banyaknya jual beli, sewa menyewa, pewarisan, pemberian kredit
bahkan juga timbulnya hubungan hukum dengan orang atau badan hukum asing.
Masalah tanah adalah masalah yang sangat menyentuh keadilan karena sifat tanah
yang langka dan terbatas, dan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia, tidak
selalu mudah untuk merancang suatu kebijakan pertanahan yang dirasakan adil
untuk semua pihak. Suatu kebijakan yang memberikan kelonggaran yang lebih besar
kepada sebagian kecil masyarakat dapat dibenarkan apabila diimbangi dengan
kebijakan serupa yang ditujukan kepada kelompok lain yang lebih besar. Melihat
hal tersebut potensi konflik pasti ada maka perlu adanya pemahaman mendasar
masyarakat terhadap pihak atau pejabat yang berwenang mengurus mengenai
pengaturan hak milik atas tanah. Konflik kepemilikan sekarang ini banyak kita
jumpai di masyarakat tentu tidak terlepas juga kemungkinan adanya kesalahan
ataupun kecurangan yang dilakukan oleh pejabat notaries/PPAT. Sering juga
adanya kesalahan persepsi masyarakat mengenai wewenang notaris dan PPAT.
Dalam
keseharian kita sering melihat penggabungan kantor notaris/PPAT. PPAT adalah
singkatan dari Pejabat Pembuat Akta Tanah. Pekerjaan notaris dan PPAT
bersinggungan. Seorang PPAT belum tentu notaris, demikian pula sebaliknya.
Notaris diangkat Menteri Hukum dan HAM, sedangkan PPAT diangkat oleh Kepala Badan
Pertanahan Nasional. PPAT juga dalah pejabat umum pembut akta tanah. Peraturan
Pemerintah No. 37 Tahun 1998 mengatur Peraturan Jabatan PPAT. Disebutkan bahwa
PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik
mengenai perbuatan hukum tertentu atas tanah atau hak milik atas satuan rumah
susun. Dengan kata lain, kewenangan PPAT lebih sempit dibanding notaris. Irisan
kewenangan inilah yang sempat menimbulkan ‘hubungan panas’ antara Kementerian
Hukum dan HAM dengan BPN. Pangkal persoalan berasal dari pasal 15 ayat (2)
huruf f UU Jabatan Notaris. Di sini disebutkan notaris
berwenang membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan
Melihat
latar belakang diatas maka perlu kiranya masyarakat diberikan pemahaman secara
mendasar mengenai pejabat umum yaitu notaris dan PPAT. Sehingga dalam makalah
ini kami akan mencoba mengkaji mengenai notaries , PPAT dan Akta Oetentik.
- Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang yang ytelah disampaikan , maka dapat dirumuskan rumusan masalah
sebagai berikut :
1.
Apakah pengertian, landasan hukum ,
wewenang, dan kewajiban Notaris ?
2.
Apakah pengertian, landasan hukum
,wewenang, dan kewajiban PPAT ?
3.
Apakah pengertian,dan syarat adanya akta
oetentik?
4.
Apakah yang perbedaan antara notaries
dengan PPAT ?
- Tujuan
1.
Untuk mengetahui pengertian, landasan
hukum , wewenang, dan kewajiban Notaris
2.
Untuk mengetahui pengertian, landasan
hukum ,wewenang, dan kewajiban PPAT
3.
Untuk mengetahui pengertian,dan syarat
adanya akta oetentik
4.
Untuk mengetahui perbedaan antara
notaries dengan PPAT
- Manfaat
1.
Dapat memahami pengertian, landasan
hukum , wewenang, dan kewajiban Notaris
2.
Dapat memahami pengertian, landasan
hukum ,wewenang, dan kewajiban PPAT
3.
Dapat memahami pengertian,dan syarat
adanya akta oetentik
4.
Dapat memahami perbedaan antara notaris dengan PPAT
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Notaris
Landasan hukum untuk
jabatan notaris diatur dalam
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.
Notaris
adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan
lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini (Pasal 1 angka 1 UUJN)
Notaris
merupakan Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat Akta Otentik mengenai semua
perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan
dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta
otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan
grosee, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta
itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain
yang ditetapkan oleh Undang-undang.
Dasar
Pengangkatan Dasar pengangkatan sebagai Notaris adalah Surat Keputusan Menteri
Kehakiman Republik Indonesia tertanggal 23 Nopember 1998 nomor C-537.HT.03.01-Th.1998
tentang Pengangkatan Notaris.
B. Wewenang Notaris
Mengenai wewenang notaris diatur dalam Pasal 15 UU No.30 Th 2004 yaitu :
(1) Notaris berwenang membuat akta otentik
mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh
peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan
untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta,
menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu
sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan
kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undangundang.
(2) Notaris berwenang pula:
a. mengesahkan tanda
tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan
mendaftar dalam buku
khusus;
b. membukukan
surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
c. membuat kopi dari
asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian
sebagaimana ditulis dan
digambarkan dalam surat yang bersangkutan;
d. melakukan pengesahan
kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;
e. memberikan
penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta;
f. membuat akta yang
berkaitan dengan pertanahan; atau
g. membuat akta risalah
lelang.
(3) Selain kewenangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain
yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Yang dimaksud dalam
Pasal 15 ayat (3) UUJN dengan kewenangan yang akan ditentukan kemudian adalah
wewenang yang berdasarkan aturan hukum lain yang akan datang kemudian (ius
constituendum) (Habib Adjie, 2008 : 82). Wewenang notaris yang akan
ditentukan kemudian, merupakan wewenang yang akan ditentukan berdasarkan
peraturan perundang-undangan. Batasan mengenai apa yang dimaksud dengan
peraturan perundang-undangan ini dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 2 UU no. 5
Tahun 1986 tetang Peradilan Tata Usaha Negara (Habib Adjie, 2008 : 83), bahwa :
Yang dimaksud dengan
peraturan perundang-undangan dalam undang-undang ini ialah semua peraturan yang
bersifat mengikat secara umum yang dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat
Bersama Pemerintah baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, serta
semua keputusan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di tingkat pusat
maupun tingkat daerah, yang juga mengikat secara umum.
Berdasarkan uraian di
atas, bahwa kewenangan notaris yang akan ditentukan kemudian tersebut adalah
peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh lembaga negara (Pemerintah
bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat) atau Pejabat Negara yang berwenang
dan mengikat secara umum. Dengan batasan seperti ini, maka peraturan
perundang-undangan yang dimaksud harus dalam bentuk undang-undang dan bukan di
bawah undang-undang.
C.
Kewajiban
Notaris
Mengenai
kewajiban Notaris diatur dalam Pasal 16 UU
No.30 Th 2004 yaitu :
(1) Dalam menjalankan jabatannya, Notaris
berkewajiban:
a.
bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan
pihak yang terkait dalam perbuatan hukum;
b. membuat
akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai bagian dari Protokol
Notaris;
c.
mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta berdasarkan Minuta
Akta;
d.
memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini, kecuali
ada alasan untuk
menolaknya;
e.
merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan
yang
diperoleh
guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang
menentukan
lain;
f. menjilid
akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang memuat tidak lebih
dari 50 (lima puluh) akta, dan jika jumlah akta tidak dapat dimuat dalam satu
buku, akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari satu buku, dan mencatat
jumlah Minuta Akta, bulan, dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku;
g. membuat
daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya surat
berharga;
h. membuat
daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan akta
setiap
bulan;
i.
mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf h atau daftar nihil
yang berkenaan
dengan
wasiat ke Daftar Pusat Wasiat Departemen yang tugas dan tanggung jawabnya di
bidang
kenotariatan
dalam waktu 5 (lima) had pada minggu pertama setiap bulan berikutnya;
j. mencatat
dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan;
k.
mempunyai cap/stempel yang memuat lambang negara Republik Indonesia dan pada
ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang
bersangkutan;
l.
membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2
(dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi,
dan Notaris;
m. menerima
magang calon Notaris.
Pada dasarnya notaris adalah pejabat yang harus memberikan
pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat yang memerlukan bukti otentik. Namun
dalam keadaan tertentu, notaris dapat menolak untuk memberikan pelayanan dengan
alasan-alasan tertentu (Pasal 16 ayat [1] huruf d UUJN). Dalam penjelasan pasal
ini, ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan “alasan untuk menolaknya” adalah alasan
yang mengakibatkan notaris tidak berpihak, seperti adanya hubungan darah atau
semenda dengan notaris sendiri atau dengan suami/istrinya, salah satu pihak
tidak mempunyai kemampuan bertindak untuk melakukan perbuatan, atau hal lain
yang tidak dibolehkan oleh undang-undang.
Di dalam
praktiknya sendiri, ditemukan alasan-alasan lain sehingga notaris menolak untuk
memberikan jasanya, antara lain (Habib Adjie, 2008 : 87 dikutip dari R.Soegondo
Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia, Suatu Penjelasan, 1982 :
97-98) :
- Apabila
notaris sakit sehingga tidak dapat memberikan jasanya, jadi berhalangan
secara fisik.
- Apabila
notaris tidak ada di tempat karena sedang dalam masa cuti.
- Apabila
notaris karena kesibukan pekerjannya tidak dapat melayani orang lain.
- Apabila
surat-surat yang diperlukan untuk membuat suatu akta tidak diserahkan
kepada notaris.
- Apabila
penghadap atau saksi yang diajukan oleh penghadap tidak dikenal oleh
notaris atau tidak dapat diperkenalkan kepadanya.
- Apabila
yang berkepentingan tidak mau membayar biaya bea materai yang diwajibkan.
- Apabila
karena pemberian jasa tersebut, notaris melanggar sumpahnya atau melakukan
perbuatan melanggar hukum.
- Apabila
pihak-pihak menghendaki bahwa notaris membuat akta dalam bahasa yang tidak
dikuasai oleh notaris yang bersangkutan, atau apabila orang-orang yang
menghadap berbicara dengan bahasa yang tidak jelas, sehingga notaris
tidak mengerti apa yang sebenarnya dikehendaki oleh mereka.
Dengan
demikian, jika memang notaris ingin menolak untuk memberikan jasanya kepada
pihak yang membutuhkannya, maka penolakan tersebut harus merupakan penolakan
dalam arti hukum, dalam artian ada alasan atau argumentasi hukum yang jelas dan
tegas sehingga pihak yang bersangkutan dapat memahaminya.
Khusus
untuk notaris yang melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf I dan k UUJN, di
samping dapat dijatuhi sanksi yang terdapat di dalam Pasal 85 UUJN, juga dapat
dikenakan sanksi berupa akta yang dibuat di hadapan notaris hanya mempunyai
kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau suatu akta menjadi batal
demi hukum (Pasal 84 UUJN). Maka apabila kemudian merugikan para pihak yang
bersangkutan, maka pihak tersebut dapat menuntut biaya, ganti rugi, dan bunga
kepada notaris. Sedangkan untuk pasal 16 ayat (1) huruf l dan m UUJN, meskipun
termasuk dalam kewajiban notaris, tapi jika notaris tidak melakukannya maka
tidak akan dikenakan sanksi apapun.
Menurut
ketentuan Pasal 16 ayat (7) UUJN, pembacaan akta tidak wajib dilakukan jika
dikehendaki oleh penghadap agar akta tidak dibacakan karena penghadap telah
membaca sendiri, mengetahui dan/atau memahami isi akta tersebut, dengan
ketentuan hal tersebut dicantumkan pada akhir akta. Sebaliknya, jika penghadap
tidak berkehendak seperti itu, maka notaris wajib untuk membacakannya, yang
kemudian ditandatangani oleh setiap penghadap, saksi dan notaris sebagaimana
tersebut dalam Pasal 44 ayat (1) UUJN (Habib Adjie, 2008 : 83) dan apabila
pasal 44 UUJN ini dilanggar oleh notaris, maka akan dikenakan sanksi
sebagaimana yang tersebut dalam pasal 84 UUJN.
Ketentuan pasal 16 ayat (1) huruf m UUJN jika tidak
dilaksanakan oleh notaris dalam arti notaris tidak mau menerima magang, maka
kepada notaris yang bersangkutan tidak dikenai sanksi apapun. Namun demikian
meskipun tanpa sanksi, perlu diingat oleh semua notaris bahwa sebelum
menjalankan tugas jabatannya sebagai notaris, yang bersangkutan pasti pernah
melakukan magang sehingga alangkah baiknya jika notaris yang bersangkutan mau
menerima magang sebagai bentuk tanggung jawab moral terhadap kelangsungan dunia
notaris di Indonesia.
Selain kewajiban untuk melakukan hal-hal yang telah diatur dalam
UU, notaris masih memiliki suatu kewajiban lain. Hal ini berhubungan dengan
sumpah/janji notaris yang berisi bahwa notaris akan merahasiakan isi akta dan
keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan notaris. Secara umum,
notaris wajib merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam
pembuatan akta notaris, kecuali diperintahkan oleh undang-undang bahwa notaris
tidak wajib merahasiakan dan memberikan keterangan yang diperlukan yang
berkaitan dengan akta tersebut. Dengan demikian, hanya undang-undang saja yang
dapat memerintahkan notaris untuk membuka rahasia isi akta dan
keterangan/pernyataan yang diketahui oleh notaris yang berkaitan dengan
pembuatan akta yang dimaksud.
Hal ini
dikenal dengan “kewajiban ingkar” notaris (Habib Adjie, 2008 : 89). Instrumen
untuk ingkar bagi notaris ditegaskan sebagai salah satu kewajiban notaris yang
disebut dalam Pasal 16 ayat (1) huruf e UUJN, sehingga kewajiban ingkar untuk
notaris melekat pada tugas jabatan notaris. Kewajiban ingkar ini mutlak harus
dilakukan dan dijalankan oleh notaris, kecuali ada undang-undang yang
memerintahkan untuk menggugurkan kewajiban ingkar tersebut. Kewajiban untuk
ingkar ini dapat dilakukan dengan batasan sepanjang notaris diperiksa oleh
instansi mana saja yang berupaya untuk meminta pernyataan atau keterangan dari
notaris yang berkaitan dengan akta yang telah atau pernah dibuat oleh atau di
hadapan notaris yang bersangkutan.
Dalam praktiknya, jika ternyata notaris sebagai saksi atau
tersangka, tergugat, ataupun dalam pemeriksaan oleh Majelis Pengawas Notaris
membuka rahasia dan memberikan keterangan/ pernyataan yang seharusnya wajib
dirahasiakan, sedangkan undang-undang tidak memerintahkannya, maka atas
pengaduan pihak yang merasa dirugikan dapat menuntut notaris yang bersangkutan.
Dalam hal ini, dapat dikenakan Pasal 322 ayat (1) dan (2) KUHP, yaitu
membongkar rahasia, yang padahal sebenarnya notaris wajib menyimpannya. Bahkan
sehubungan dengan perkara perdata, yaitu apabila notaris berada dalam
kedudukannya sebagai saksi, maka notaris dapat meminta untuk dibebaskan dari
kewajibannya untuk memberikan kesaksian, karena jabatannya menurut
undang-undang diwajibkan untuk merahasiakannya (Habib Adjie, 2008 : 90).
D. Larangan untuk Notaris :
Mengenai
Tindakan yang dilarang untuk dilakukan oleh
Notaris diatur dalam Pasal 17 UU
No.30 Th 2004 yaitu :
Notaris
dilarang:
a. menjalankan jabatan
di luar wilayah jabatannya;
b. meninggalkan wilayah
jabatannya lebih dan 7 (tujuh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang sah;
c. merangkap sebagai
pegawai negeri;
d. merangkap jabatan
sebagai pejabat negara;
e. merangkap jabatan
sebagai advokat;
f. merangkap jabatan
sebagai pemimpin atau pegawai badan Usaha milik negara, badan usaha milik
daerah atau badan usaha
swasta;
g. merangkap jabatan
sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah di luar wilayah jabatan Notaris;
h. menjadi Notaris
Pengganti; atau
i. melakukan pekerjaan
lain yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan, atau kepatutan yang dapat
mempengaruhi kehormatan dan martabat jabatan Notaris.
E. Akta
Otentik
Akta
Otentik adalah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh
Undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu
ditempat di mana Akta itu dibuatnya.
Keistimewaan
suatu akta otentik merupakan suatu bukti yang sempurna (volleding
bewijs-full evident) tentang apa yang dimuat di dalamnya.
Artinya apabila seseorang mengajukan akta resmi kepada Hakim
sebagai bukti, Hakim harus menerima dan menganggap apa yang tertulis dalam
akta, merupakan peristiwa yang sungguh-sungguh telah terjadi dan Hakim tidak
boleh memerintahkan penambahan pembuktian.
Apa
yang diperjanjikan, dinyatakan di dalam akta itu adalah benar seperti apa yang
diperjanjikan, dinyatakan oleh para pihak sebagai yang dilihat atau di dengar
oleh Notaris, terutama benar mengenai tanggal akta, tanda tangan di dalam akta,
identitas yang hadir, dan tempat akta itu dibuat.
Syarat
Suatu Akta Bisa Disebut Otentik:
Dari
uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa suatu Akta bisa disebut otentik
dan memiliki kekuatan pembuktian sempurna apabila memenuhi dua syarat baik
formil maupun materiil.
Syarat
Formil yaitu:
1. Dibuat
oleh Pejabat yang berwenang;
2. Ditempat
dimana Pejabat tersebut berkedudukan
3. Ditanda
tangani oleh para pihak yang hadir pada tanggal yang tersebut di
dalam akta
Syarat
Materiil yaitu:
Isi
atau materi dari akta tersebut adalah benar
Akta-Akta
Yang Dibuat Secara Otentik
Akta-akta
yang harus dibuat secara Otentik antara lain:
a.
Akta Pendirian Badan-badan Usaha dan Badan Sosial yang berbadan hukum
serta
Koperasi (UU No. 40 Tahun 2007, UU No. 16 Tahun 2001, JO No. 28
Tahun
2004 dan UU Koperasi);
b.
Akta Perjanjian Kawin (pasal 147KUH Perdata);
c.
Akta Kuasa Memasang Hipotek/Hak Tanggungan (pasal 1171 ayat 2 KUH
Perdata
dan UU No, 4Tahun 1996);
e.
Akta Tanah (UU No. 5 Tahun 1960, JO pasal 19 PP No. 10Tahun 1961);
F. Pejabat
Pembuat Akta Tanah
Definisi
P.P.A.T.
Landasan
hukum mengenai peraturan jabatan pejabat pembuat akta tanah diatur dalam
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1998.
Berdasarkan bunyi pasal 1 ayat 1 dari Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah bahwa yang dimaksud dengan P.P.A.T. atau Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.
Dasar pengangkatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah Surat Keputusan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional tertanggal 2 Juni 1998 nomor 8-XI-1998 tentang Pengangkatan Pejabat Pembuat Akta Tanah Dan Penunjukan Daerah Kerjanya.
Berdasarkan bunyi pasal 1 ayat 1 dari Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah bahwa yang dimaksud dengan P.P.A.T. atau Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.
Dasar pengangkatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah Surat Keputusan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional tertanggal 2 Juni 1998 nomor 8-XI-1998 tentang Pengangkatan Pejabat Pembuat Akta Tanah Dan Penunjukan Daerah Kerjanya.
G. Tugas Pokok Dan Kewenangan P.P.A.T.
Pejabat Pembuat
Akta Tanah bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah
dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu
mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan
dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang
diakibatkan oleh perbuatan hukum itu (pasal 2 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor
37 Tahun 1998).
Perbuatan hukum yang dimaksudkan diatas adalah sebagai berikut (pasal 2 ayat 2 dari Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998):
Perbuatan hukum yang dimaksudkan diatas adalah sebagai berikut (pasal 2 ayat 2 dari Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998):
1. jual beli;
2.
tukar menukar;
3.
hibah;
4. pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng);
5. pembagian hak bersama;
6. pemberian Hak Guna Bangunan / Hak Pakai atas tanah Hak Milik;
7. pemberian Hak Tanggungan;
8. pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan.
Lebih lanjut yang dimaksud dengan PPAT Sementara adalah pejabat pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT biasanya dilakukan oleh camat.
PPAT khusus yaitu pejabat BPN yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT tertentu khusus dalam rangka pelaksanaan program dan tugas pemerintahan tertentu.
PPAT disumpah oleh kepala Badan Pertanahan Nasional dan lingkup kerjanya hanya perwilayah/perkota.
4. pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng);
5. pembagian hak bersama;
6. pemberian Hak Guna Bangunan / Hak Pakai atas tanah Hak Milik;
7. pemberian Hak Tanggungan;
8. pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan.
Lebih lanjut yang dimaksud dengan PPAT Sementara adalah pejabat pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT biasanya dilakukan oleh camat.
PPAT khusus yaitu pejabat BPN yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT tertentu khusus dalam rangka pelaksanaan program dan tugas pemerintahan tertentu.
PPAT disumpah oleh kepala Badan Pertanahan Nasional dan lingkup kerjanya hanya perwilayah/perkota.
H. Perbedaan antara Notaris dengan
PPAT.
Saat ini
masih adanya persepsi yang belum tepat di masyarakat kita tentang Notaris dan
PPAT ( Pejabat Pembuat Akta Tanah ), yang menurut mereka bahwa Notaris dan PPAT
adalah dua jabatan yang sama. Pada dasarnya Notaris dan PPAT adalah jabatan
yang berbeda. Seorang yang menjadi Notaris belum tentu seorang PPAT, begitu
pula sebaliknya.
1. Dasar
Hukum :
Notaris
: Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 : tentang Jabatan Notaris
(UUJN)
PPAT
: Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 : tentang
Peraturan Jabatan PPAT (PJPPAT)
2. Pengangkatan
:
Notaris
: oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
PPAT
: oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional
3. Definisi
:
Notaris
: Pasal 1 UUJN : Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta
otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang
ini.
PPAT
: Pasal 1 PJPPAT : Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT,
adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik
mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai Hak Atas Tanah atau Hak Milik Atas
Satuan Rumah Susun.
4. Wewenang
:
Notaris
: Pasal 15 UUJN : Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua
perbuatan,perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan
perundangundangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk
dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta,
menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta.
Selain
itu Notaris berwenang pula :
a.
mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan
dengan mendaftar dalam buku khusus;
b.
membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
c.
membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat
uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;
d.
melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;
e.
memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta;
f.
membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau
g.
membuat akta risalah lelang.
Sedangkan
PPAT : Pasal 2 PJPPAT : PPAT bertugas pokok
melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat Akta sebagai
bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau
Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran
perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.
Akta
yang dapat dibuat PPAT adalah sebagai berikut :
a.
jual beli;
b.
tukar menukar;
c.
hibah;
d.
pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng);
e.
pembagian hak bersama;
f.
pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik;
g.
pemberian Hak Tanggungan;
h.
pemberian Kuasa membebankan Hak Tanggungan.
Berdasarkan
hal-hal tersebut di atas jelas terdapat perbedaan kewenangan antara Notaris
dengan PPAT. Seorang Notaris memiliki kewenangan lebih luas dibanding seorang
PPAT.
Jadi
jika Anda ingin membuat sebuah dokumen, perhatikan dulu jenis dokumennya, dan
akan lebih nyaman bagi Anda jika mendatangi seorang Notaris yang juga seorang
PPAT.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Notaris / PPAT merupakan salah satu pejabat negara yang
kedudukannya sangat dibutuhkan di masa sekarang ini. Di masa modern ini,
masyarakat tidak lagi mengenal perjanjian yang berdasarkan atas kepercayaan
satu sama lain seperti yang mereka kenal dulu. Setiap perjanjian yang dilakukan
oleh masyarakat pasti akan mengarah kepada notaris sebagai sarana keabsahan
perjanjian dan kegiatan agrarian lainya yang mereka lakukan . Karena itulah,
kedudukan notaris /PPAT menjadi semakin penting di masa seperti sekarang ini.
Seperti pejabat negara yang lain, notaris dan PPAT juga
memiliki kewenangan tersendiri yang tidak dimiliki oleh pejabat negara yang
lainnya. Selain kewenangannya, para notaris juga memiliki kewajiban dan
larangan yang wajib mereka patuhi dalam pelaksanaan tugas jabatannya. Dengan
berdasar pada Undang-undang No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, PPAT
berdasarkan pada Undang-undang No. 37 Tahun 1998. para notaris dan PPAT di
Indonesia wajib untuk memahami apa yang menjadi wewenang dan kewajiban mereka
serta larangan yang tidak boleh dilakukan dalam pelaksanaan tugas jabatannya.
Tentunya apabila ketentuan yang diatur dalam ketentuan Undang-undang No. 30
Tahun 2004 dan Undang-undang No. 37 Tahun 1998 di langgar maka mereka akan
menerima sangsi yang tegas sesuai yang diatur dalam ketentuan tersebut.
B.
Saran
Melihat vitalitas keberadaan pejabat umum notaries /
PPAT, maka perlu adanya kebijakan atau peraturan pembaharuan mengenai ketentuan
jabatan notaries dan PPAT terutama masalah pengawasan pejabat ini agar diatur
lebih rinci dalam sebuat perundang-undangan
sehingga dapat meningkatkan
pelayanannya terhadap masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Habib
Adjie. Hukum Notaris Indonesia,
Tafsir Tematik Terhadap UU No.30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.
Rafika Aditama. Bandung. 2008.
Undang-undang
Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.
Undang-undang
Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Jabatan PPAT
0 Response to " Makalah : notaris , ppat dan akta oetentik"
Post a Comment
|Dukung kami dengan memberikan komentar yang membangun|